Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif
Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali
Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
- Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
- Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
- Al Iqtishad Fil I’tiqad.
- Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
- Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat,
manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara
ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1)
Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang
sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini
ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini
Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan
pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya,
“Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan
pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah
menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur
adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata,
“Setelah kita
mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini,
maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan
ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis
Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya,
“Mukadimah
ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus
untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang
tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (
Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).
Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata,
“Ini
tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu
manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak
mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala
19/329). Demikianl`h, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu
manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari
para ahli manthiq.
(2)
Mahakun Nadzar.
(3)
Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4)
Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5)
Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6)
Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7)
Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8)
Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama,
kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al
Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah
dengan pernyataannya,
“Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi
Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat
Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang
menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau
sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 19/329).
Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan,
“Adapun
mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama
mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan
keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
(9)
Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10)
Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11)
Qanun At Ta’wil.
(12)
Fadhaih Al Bathiniyah dan
Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13)
Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14)
Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15)
Ar Risalah Alladuniyah.
(16)
Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi
salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama
terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
Abu Bakar Al Thurthusi berkata,
“Abu Hamid telah memenuhi kitab
Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak
kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran
filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum
yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 19/334).
Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan,
“Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid,
maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan
beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal
dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan
hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk
ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf,
menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan
hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan
pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai
mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar
dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang
ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan
tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal
dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya,
“Adapun
di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan
terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta
zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 19/339-340).
Imam Subuki dalam
Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab
Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits
Al Ihya’ dalam kitabnya,
Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab
Ihya Ulumuddin.
Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan
derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut
yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari
perkataan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab
Ihya Ulumuddin.
(17)
Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18)
Al Wasith.
(19)
Al Basith.
(20)
Al Wajiz.
(21)
Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam
Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.
Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya
Al Wasith, Al Basith dan
Al Wajiz. Bahkan kitab beliau
Al Wajiz
termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus
dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih
beliau dengan pernyataannya,
“Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz
zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur
sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah
dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi
mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh
karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul
Al Iqtishad Fil I’tiqad.
Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya,
hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum
beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab
Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang
cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga
dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang
sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit
menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu,
kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat
dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan
menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari
tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya
beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena
itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan,
“Beliau tidak
berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi
beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan
filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab
Bughyatul Murtad hal. 110).
Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti
Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan
Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi,
akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang
sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan
tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian
Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah.
Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya.
Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi
seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang
setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi
khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu
mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan
pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat
Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (
Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan
hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa
tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam
filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam
agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani
dan Neo-Platoisme. Lihat
Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah,
karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang
dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush
Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab
Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan,
“Bantahan
Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti
filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil
nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam
kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen)
adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan
filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al
Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat
Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan
pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab
Bughyatul Murtad hal. 111).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali
kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu
kalam, dengan menekuni
Shahih Bukhari dan
Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Penulis
Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan
para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur
pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang
bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof
tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli
kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari
dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”
***
Sumber: Majalah As Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.