Disadur dari buku siCacing dan kotoran kesayangannya no.2 (Ajahn Brahm)
Pada suatu acara makan malam, seorang perempuan ahli biokimia mulai berbicara dengan saya. Mereka terutama ingin tahu bagaimana seorang biksu mengetahui sifat dan cara kerja meditasi. la sedang melakukan riset mutakhir untuk melihat apa yang ia sebut sebagai "ombak" dari satu unit pikiran dalam otak dan bagaimana hal itu berombak melalui sistem saraf sampai memengaruhi tubuh,terutama sel kanker. Ia mengatakan bahwa ia bisa mellhat sebab-akibat dari satu pikiran ke pikiran lainnya dan bagaimana hal itu memengaruhi tumor. Banyak orang tahu apa yang terjadi, namun bagaimana mekanismenya, hubungan sebenarnya antara seluruh ”ombak pengaruhnya" ia sebut begitu, yang membuat tumor bertambah besar atau malah menekan dan menyusutkannya. la bisa melihat hal itu dalam risetnya. Itulah mengapa ia ingin menjalin komunikasi dengan saya sebagai seorang meditator mengenai bagaimana kita bisa mengendalikan cara kita berpikir. Dan saya tahu berdasarkan pengalaman bahwa pikiran terbaik dari segala pikiran adalah tidak ada pikiran sama sekali hening. Dalam keheningan itu, dalam damai, di situlah terjadi banyak penyembuhan fisik. Saya selalu ingat seorang pria yang mengikuti retret saya di Sydney bertahun-tahun lalu. Dalam retret meditasi, peserta seharusnya diam ketika bermeditasi, namun pria ini terus menarik dan mengembus napas lewat mulutnya dengan berisik. Ia bernapas begitu berat dalam setiap sesi meditasi duduk. Lalu ada peserta yang menghadap saya dan mengeluh, "Bisakah Ajahn memberitahu orang ini agar diam? Saya sedang belajar meditasi? Saya berkata, "Ia punya tumor di saluran pernapasannya yang memblokir kedua lubang hidungnya. Tumornya fatal. Dokter-dokter sudah menyerah melakukan operasi, kemoterapi, radiasi, dan angkat tangan merawatnya. la datang ke retret meditasi ini sebagai upaya terakhirnya?
Ketika saya memberitahu semua peserta lain mengenai hal ini, mereka merasa sangat malu dan bersalah karena mengeluhkan orang yang umurnya hanya tersisa beberapa minggu ini. Pria dengan tumor itu kemudian memberitahu saya pada hari terakhir retret bahwa ia tengah bernapas keras-keras, namun tanpa berpikir, hening, ketika ia mendengar bunyi “pop” Saat itu ia bisa bernapas lagi dengan hidungnya. ltulah yang ia katakan, bunyi pop, ketika saluran hidungnya terbuka, namun hanya selama 5-1O menit Ialu menutup lagi. Bagaimanapun, itu Iuar biasa. Tapi saya pikir meditasi bekerja agak terlambat baginya. Saya tak pernah mengira ia akan bertahan hidup. Beberapa tahun kemudian, saat
mengajar meditasi di Sydney, pria ini datang dan berkata, ”Ajahn ingat saya?"”Tentu saja tidak. Siapa ya?"sebagai biksu saya kan harus jujur. la adalah pria dengan tumor itu. la berhasil mengatasi penyakitnya dangan meditasi dan saluran napas di hidungnya telah membuka. Lalu la berkeliling mengajar orang-orang bagaimana menjadi damai, hening, karena kankernya telah mengalaml penyusutan, padahal seharusnya ia telah meninggal bertahun-tahun yang Ialu. Keheningan seperti itu sangat ampuh bagi tubuh kita. Ketika kita berpikir, kita menciptakan ketegangan bagi diri sendiri dan malah memberi makan penyakit kita.
Baca Selengkapnya ... »»