Rahasia takdir merupakan salah satu jenis pengetahuan yang paling agung. Menurut Syekh Al Akbar Muhyidin Ibnu Arabi, dalam bukunya Fusus al-Hikam, disebutkan bahwa rahasia takdir merupakan anugerah Allah kepada seseorang sebagai instrumen penglihatanNya yang sudah Dia pilih untuk mendapatkan gnosis yang sempurna.
Pengetahuan tentang rahasia ini akan membawa kepada ketenangan sempurna atau pun siksaan menyakitkan (seperti contoh film Butterfly Effect), karena pengetahuan ini sebenarnya mempertentangkan penggambaran tentang Allah sebagai Yang Murka (al-Gadab) dan Yang Ridha (ar-Rida). Dan dengan rahasia inilah Nama-nama Ilahi dipertentangkan. Kebenarannya memegang kekuasaan atas Kemutlakan maupun kesatuan, dan tidak ada yang lebih sempurna, lebih kuat dan lebih agung dengan totalitas kekuasaan-Nya, baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan uraiannya tersebut, Ibnu Arabi menegaskan bahwa berkenaan dengan ukuran dan proporsi, takdir menentukan kapan, dimana, dan bagaimana tentang penciptaan, kapan kejadiannya (manifestasinya), serta konteks dan hakikat eksistensinya. Jadi, takdir sebenarnya tidak banyak berhubungan dengan pencurahan semesta dari suatu tindakan Kreatif (kun, jadilah), tetapi lebih banyak berkaitan dengan jatah atau takaran atau ukuran (qadar) bagi wujud-wujud ciptaan secara individu dalam batas-batas eksistensi mereka (sesuai potensi dan sunnatullah masing-masing), yang kemudian melihat dan secara individu menegaskan tindakan kreatif sesuai dengan pemahaman dan potensinya masing-masing (fa yakuun, menjadilah ia). Dari sinilah orang, atau pengamat seperti ilmuwan atau filsuf akan mendapatkan kesan tentang keselarasan alam semesta dalam hukum-hukum alam, atau kesan seperti yang diungkapkan fisikawan kuantum David Bohm yang menaksir adanya gelombang pengarah dalam setiap maujud ciptaan yang nampak mengikuti pola-pola yang merupakan fungsi dari “Inteligence Being” atau sebut saja dengan bahasa spiritual sebagai Allah-Rabbul ‘Aalamin (Pencipta, Pemelihara dan Penidik semua makhluk ciptaanNya). Allah, yang Maha Hidup dan kekal untuk secara terus menerus menghidupkan dan mematikan makhluk, difirmankanNya dalam QS 3:1-2:
1. Alif laam miim.
2. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.
Allah sebagai pemilik al-Kursy yang memiliki Kemahagungan dan Kemahaindahan sebagai RahmatNya yang dapat melawan MurkaNya (kiasan filosofisnya berhubungan dengan suatu pertanyaan filafat “dapatkan Tuhan menciptakan sesuatu yang lebih besar dan lebih berat dari DiriNya?” Nabi Muhammad SAW hanya menjawab “RahmatNya mendahului MurkaNya”) dimana dari setiap takdir buruk tersimpan juga sebenarnya takdir baik sebagai kesejajaran kejadian (jadi apakah yang aktual itu takdir baik atau buruk tergantung pemahaman si gnosis, seseorang, maupun sekelompok masyarakat dalam menanggapi penampilan Asma, Sifat dan Perbuatan Tuhan yang nyata melalui semua manifestasiNya dalam maujud kemakhlukan atau kehambaan. Artinya takdir tergantung pada keselarasan antara hati, pikiran dan tindakan manusia dengan Kehendak Tuhan itu sendiri yang tidak lain adalah semua manifestasiNya),
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Al-Kursy Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS 2:255)
Mekanisme Umpan Balik
Terdapat suatu mekanisme umpan balik dimana takdir mengembalikan arus qada (takdir yang sedang berjalan) dan mengembalikan Kosmos (alam semesta dan sunnatullah) kepada Allah Yang mengetahui ukuran atas segala sesuatu dengan kepastian hukumNya, dan dengan demikian mengetahui dan memiliki kekuatan melebihi segala sesuatu (al-Qudrah). Jadi, rahasia takdir hanya dapat diketahui secara tepat oleh Allah semata. Meskipun demikian makhluk hidup mungkin saja diberikan penglihatan kepada takdir mereka sendiri. Namun, pengetahuan yang diterimanya tergantung pada kecenderungan-kecenderunga n dari prasangka dirinya untuk mengetahui tentang eksistensi awalnya yang tidak lain adalah proses mengenal diri dan mengenal Ilahi (Man arofa nafsahu faqod ArofaRobbahu atau Sangkan Paraning Dhumadi).
Pengetahuan seperti itu, akan menghasilkan kebingungan dalam perasaan-perasaan yang saling bertentangan, dalam ketenangan, dalam penyerahan total di satu sisi, dan dalam kegelisahan yang menyakitkan di sisi lain; penyerahan ketenangan pada apa yang akhirnya menjadi takdir seseorang yang telah ditentukan (qada-nya) dan kebingungan pada “kelainan” eksistensi kosmik yang nyata.
Ketika pengalaman demikian terjadi pada seorang gnosis atau pun yang mengalami karena faktor bawaan (misalnya indigo) atau nampak seperti tidak sengaja (karena dipilih olehNya), maka semua realitas akan ditampilkan dengan suatu transparansi dalam suatu titik yang membingungkan karena semua realitas yang tercitrakan akan bersifat maya dan merupakan penampilan wujud tunggal dalam keserbaragaman yang terartikulasikan pada masing-masing qadar, qada dan takdirnya (kebhinekaan).
Pada titik tertentu, gejala-gejala psikis akan nampak ke permukaan dan dikenali oleh masyarakat karena si gnosis melakukan aktualisasi ego diri yang boleh jadi belum matang dan menjadi membingungkan. Bagi yang tidak kokoh sandarannya, ia akan jatuh pada penjara egosentrisme yang menyesatkannya. Ia akan melakukan eksperimentasi kenyataan hidup yang dicobakan pada dirinya maupun orang lain, baik dengan rayuan keilmuan, paksaan sampai tipu daya (misalnya dengan ilmu tukang sulap atau ilusionis lantas mengaku jadi Utusan Tuhan).
Celakanya, penerapannya seringkali tanpa tanggung jawab etis maupun moral yang jelas, baik bagi dirinya maupun orang lain. Sekte-sekte keagamaan yang menyimpang umumnya dikendalikan oleh orang-orang seperti ini. Makin lama, karena egonya yang mengendalikan segala keinginan dari nafsu dirinya telah menjadi rajanya, aktualitas dirinya semakin lama semakin tidak memiliki sikap yang jelas dan tegas. Iapun menjadi terhijab. Ia pun menjadi sosok yang penuh kebimbangan, tidak konsisten, mudah berubah, bersembunyi kedalam kemisteriusan yang dikhayalkannya sendiri (misalnya menjadi Imam Mahdi, atau gelar-gelar aneh lainnya), sampai akhirnya mengalami tekanan mental yang semakin tidak terkendalikan.
Yang mengalami hal demikian memang akhirnya sampai pada Kebingungan Ilahiyah dimana keselamatannya dengan akhir yang baik akhirnya harus kembali disandarkan pada kehendak Tuhan, Pertolongan Tuhan dan ketidaktahuannya tentang takdir itu sendiri. Kalau tidak ada pertolongan seperti ini karena ia memutuskan diri dari Rahmat Tuhan, maka ia akan terhempas kedalam jurang kegelapan yang kemudian ilmu kedokteran menyebutnya sebagai Penyakit Szichoprenia dengan kecondongan hiperaktif (contoh : Hitler) atau menjadi berhala superpasif (contoh pertapa seumur hidup yang diam terus menerus dengan menganggap dirinya penjelmaan orang suci atau bahkan mengaku penjelmaan Tuhan).
Dilema “Au Ah Gelap”
Jadi, pada posisi demikian seorang gnosis justru harus dituntut seperti sikap Nabi Ibrahim a.s yaitu tertunduk dan berserah diri atau dengan adab Aslim dan Islam (QS 2:131). Jika hal ini tidak dilakukan, maka si gnosis akan menghadapi dilema yang boleh saya katakan dilema “Au Ah Gelap” alias ketidaktahuan mutlak tentang Esensi Asma, Sifat dan Perbuatan Tuhan.
Hal inilah yang sebenarnya dijelaskan dalam surat al-Kafiruun (QS 109) dengan akhir peringatan ”Lakuum dinukuum waliyadiin” yang sebenarnya membebaskan kepada semua orang untuk beragama sesuai dengan apa yang diyakininya, atau sesuai dengan prasangkanya sebagai bagian dari takdir si penganut agama tersebut, termasuk disini tanggung jawab pribadinya nanti di hadapan Tuhan. Pada posisi kritis demikian, seorang penempuh jalan ruhani harus sejenak berhenti dengan berserah diri secara mutlak dan pasrah dengan kesadaran Aslim dan Islam. Untuk itu, maka jalan keselamatan hanya dimungkinkan untuk merenungkan kembali perjalanan yang telah dilaluinya dimana keteguhan sikap dengan yakin dan keistiqomahan merupakan proses dan pelajaran yang berharga. Disini, kita harus kembali merenungkan firman Tuhan berikut :
103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[1]; merekalah orang-orang yang beruntung.
105. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,
106. Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu”.
107. Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya.
[1] Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[2].
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus[3].
[2] Yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan Qurban dan mensyukuri nikmat Allah. Namun ada pula yang menyimpulkan kalau yang dikorbankan adalah hawa nafsu manusia dengan cara mengendalikannya didalam Shirathaal Mustaqiim
[3] Maksudnya terputus di sini ialah terputus dari rahmat Allah. Rahmat Allah tentunya berhubungan dengan keimanan yang benar yaitu menjadi Islam dan al-Mukmin.
Pada akhirnya jika siapapun yang masih berpegang pada Pertolongan Allah (Qs 110: 1-3), ia akan selamat hanya dengan sadar untuk Taubat (QS 9) dan kalau dikehendakiNya, ia ditarik kedalam pintu tauhid yaitu ke-Esa-an seperti tersirat dalam surat al-Ikhlas (QS 112). Jika tidak, maka ia akan terjerembab kedalam panas Abu Lahab (Qs 111) yaitu ketersesatan karena dijajahnya jiwa yang tadinya murni dengan panasnya api kemarahan atas egosentrismenya yang tidak mau melihat kenyataan untuk Aslim dengan Islam. Inilah makna tersembunyi dari kisah api yang menjadi dingin ketika Ibrahim dibakar oleh raja dunia karena hanya menauhidkan Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya.
Di puncak pengetahuan, para pejalan ruhani pun akan dihempaskan dalam suatu dilema antara yang tahu dan tidak tahu, yang memahami dan tidak memahami, yang sadar dan tidak sadar, yang mengisahkan dan dikisahkan, yang menuliskan dan yang ditulisi, sebagai Tinta, Pena dan Kertas al-Haqq, sampai akhirnya realitas tentang dirinya diperkenalkan oleh Allah sebagai bagian dari penampilan hakikat Jamal dan Jalal Allah dimana ia adalah hamba-Nya dengan suatu atribusi khusus yang dianugerahkan kepadanya (misalnya Habib, Khalil, dll) karena ketentuan takdir yang telah ditetapkan Allah sejak azalinya (sejak pra-eksistensinya, QS 7:172). Dan diapun akan lahir kembali dalam kebaqoan Ilahiyah sesuai dengan misi dan peran yang ditetapkan Tuhan padanya dan sesuai dengan potensi, qadar, dan qadanya atau sesuai dengan takdir dan zamannya.
Dari bukuku : Kunfayakuun, Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, Bab 27.4
Sumber : http://atmonadi.com/?p=206
Pengetahuan tentang rahasia ini akan membawa kepada ketenangan sempurna atau pun siksaan menyakitkan (seperti contoh film Butterfly Effect), karena pengetahuan ini sebenarnya mempertentangkan penggambaran tentang Allah sebagai Yang Murka (al-Gadab) dan Yang Ridha (ar-Rida). Dan dengan rahasia inilah Nama-nama Ilahi dipertentangkan. Kebenarannya memegang kekuasaan atas Kemutlakan maupun kesatuan, dan tidak ada yang lebih sempurna, lebih kuat dan lebih agung dengan totalitas kekuasaan-Nya, baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan uraiannya tersebut, Ibnu Arabi menegaskan bahwa berkenaan dengan ukuran dan proporsi, takdir menentukan kapan, dimana, dan bagaimana tentang penciptaan, kapan kejadiannya (manifestasinya), serta konteks dan hakikat eksistensinya. Jadi, takdir sebenarnya tidak banyak berhubungan dengan pencurahan semesta dari suatu tindakan Kreatif (kun, jadilah), tetapi lebih banyak berkaitan dengan jatah atau takaran atau ukuran (qadar) bagi wujud-wujud ciptaan secara individu dalam batas-batas eksistensi mereka (sesuai potensi dan sunnatullah masing-masing), yang kemudian melihat dan secara individu menegaskan tindakan kreatif sesuai dengan pemahaman dan potensinya masing-masing (fa yakuun, menjadilah ia). Dari sinilah orang, atau pengamat seperti ilmuwan atau filsuf akan mendapatkan kesan tentang keselarasan alam semesta dalam hukum-hukum alam, atau kesan seperti yang diungkapkan fisikawan kuantum David Bohm yang menaksir adanya gelombang pengarah dalam setiap maujud ciptaan yang nampak mengikuti pola-pola yang merupakan fungsi dari “Inteligence Being” atau sebut saja dengan bahasa spiritual sebagai Allah-Rabbul ‘Aalamin (Pencipta, Pemelihara dan Penidik semua makhluk ciptaanNya). Allah, yang Maha Hidup dan kekal untuk secara terus menerus menghidupkan dan mematikan makhluk, difirmankanNya dalam QS 3:1-2:
1. Alif laam miim.
2. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.
Allah sebagai pemilik al-Kursy yang memiliki Kemahagungan dan Kemahaindahan sebagai RahmatNya yang dapat melawan MurkaNya (kiasan filosofisnya berhubungan dengan suatu pertanyaan filafat “dapatkan Tuhan menciptakan sesuatu yang lebih besar dan lebih berat dari DiriNya?” Nabi Muhammad SAW hanya menjawab “RahmatNya mendahului MurkaNya”) dimana dari setiap takdir buruk tersimpan juga sebenarnya takdir baik sebagai kesejajaran kejadian (jadi apakah yang aktual itu takdir baik atau buruk tergantung pemahaman si gnosis, seseorang, maupun sekelompok masyarakat dalam menanggapi penampilan Asma, Sifat dan Perbuatan Tuhan yang nyata melalui semua manifestasiNya dalam maujud kemakhlukan atau kehambaan. Artinya takdir tergantung pada keselarasan antara hati, pikiran dan tindakan manusia dengan Kehendak Tuhan itu sendiri yang tidak lain adalah semua manifestasiNya),
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Al-Kursy Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS 2:255)
Mekanisme Umpan Balik
Terdapat suatu mekanisme umpan balik dimana takdir mengembalikan arus qada (takdir yang sedang berjalan) dan mengembalikan Kosmos (alam semesta dan sunnatullah) kepada Allah Yang mengetahui ukuran atas segala sesuatu dengan kepastian hukumNya, dan dengan demikian mengetahui dan memiliki kekuatan melebihi segala sesuatu (al-Qudrah). Jadi, rahasia takdir hanya dapat diketahui secara tepat oleh Allah semata. Meskipun demikian makhluk hidup mungkin saja diberikan penglihatan kepada takdir mereka sendiri. Namun, pengetahuan yang diterimanya tergantung pada kecenderungan-kecenderunga
Pengetahuan seperti itu, akan menghasilkan kebingungan dalam perasaan-perasaan yang saling bertentangan, dalam ketenangan, dalam penyerahan total di satu sisi, dan dalam kegelisahan yang menyakitkan di sisi lain; penyerahan ketenangan pada apa yang akhirnya menjadi takdir seseorang yang telah ditentukan (qada-nya) dan kebingungan pada “kelainan” eksistensi kosmik yang nyata.
Ketika pengalaman demikian terjadi pada seorang gnosis atau pun yang mengalami karena faktor bawaan (misalnya indigo) atau nampak seperti tidak sengaja (karena dipilih olehNya), maka semua realitas akan ditampilkan dengan suatu transparansi dalam suatu titik yang membingungkan karena semua realitas yang tercitrakan akan bersifat maya dan merupakan penampilan wujud tunggal dalam keserbaragaman yang terartikulasikan pada masing-masing qadar, qada dan takdirnya (kebhinekaan).
Pada titik tertentu, gejala-gejala psikis akan nampak ke permukaan dan dikenali oleh masyarakat karena si gnosis melakukan aktualisasi ego diri yang boleh jadi belum matang dan menjadi membingungkan. Bagi yang tidak kokoh sandarannya, ia akan jatuh pada penjara egosentrisme yang menyesatkannya. Ia akan melakukan eksperimentasi kenyataan hidup yang dicobakan pada dirinya maupun orang lain, baik dengan rayuan keilmuan, paksaan sampai tipu daya (misalnya dengan ilmu tukang sulap atau ilusionis lantas mengaku jadi Utusan Tuhan).
Celakanya, penerapannya seringkali tanpa tanggung jawab etis maupun moral yang jelas, baik bagi dirinya maupun orang lain. Sekte-sekte keagamaan yang menyimpang umumnya dikendalikan oleh orang-orang seperti ini. Makin lama, karena egonya yang mengendalikan segala keinginan dari nafsu dirinya telah menjadi rajanya, aktualitas dirinya semakin lama semakin tidak memiliki sikap yang jelas dan tegas. Iapun menjadi terhijab. Ia pun menjadi sosok yang penuh kebimbangan, tidak konsisten, mudah berubah, bersembunyi kedalam kemisteriusan yang dikhayalkannya sendiri (misalnya menjadi Imam Mahdi, atau gelar-gelar aneh lainnya), sampai akhirnya mengalami tekanan mental yang semakin tidak terkendalikan.
Yang mengalami hal demikian memang akhirnya sampai pada Kebingungan Ilahiyah dimana keselamatannya dengan akhir yang baik akhirnya harus kembali disandarkan pada kehendak Tuhan, Pertolongan Tuhan dan ketidaktahuannya tentang takdir itu sendiri. Kalau tidak ada pertolongan seperti ini karena ia memutuskan diri dari Rahmat Tuhan, maka ia akan terhempas kedalam jurang kegelapan yang kemudian ilmu kedokteran menyebutnya sebagai Penyakit Szichoprenia dengan kecondongan hiperaktif (contoh : Hitler) atau menjadi berhala superpasif (contoh pertapa seumur hidup yang diam terus menerus dengan menganggap dirinya penjelmaan orang suci atau bahkan mengaku penjelmaan Tuhan).
Dilema “Au Ah Gelap”
Jadi, pada posisi demikian seorang gnosis justru harus dituntut seperti sikap Nabi Ibrahim a.s yaitu tertunduk dan berserah diri atau dengan adab Aslim dan Islam (QS 2:131). Jika hal ini tidak dilakukan, maka si gnosis akan menghadapi dilema yang boleh saya katakan dilema “Au Ah Gelap” alias ketidaktahuan mutlak tentang Esensi Asma, Sifat dan Perbuatan Tuhan.
Hal inilah yang sebenarnya dijelaskan dalam surat al-Kafiruun (QS 109) dengan akhir peringatan ”Lakuum dinukuum waliyadiin” yang sebenarnya membebaskan kepada semua orang untuk beragama sesuai dengan apa yang diyakininya, atau sesuai dengan prasangkanya sebagai bagian dari takdir si penganut agama tersebut, termasuk disini tanggung jawab pribadinya nanti di hadapan Tuhan. Pada posisi kritis demikian, seorang penempuh jalan ruhani harus sejenak berhenti dengan berserah diri secara mutlak dan pasrah dengan kesadaran Aslim dan Islam. Untuk itu, maka jalan keselamatan hanya dimungkinkan untuk merenungkan kembali perjalanan yang telah dilaluinya dimana keteguhan sikap dengan yakin dan keistiqomahan merupakan proses dan pelajaran yang berharga. Disini, kita harus kembali merenungkan firman Tuhan berikut :
103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[1]; merekalah orang-orang yang beruntung.
105. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,
106. Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu”.
107. Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya.
[1] Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[2].
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus[3].
[2] Yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan Qurban dan mensyukuri nikmat Allah. Namun ada pula yang menyimpulkan kalau yang dikorbankan adalah hawa nafsu manusia dengan cara mengendalikannya didalam Shirathaal Mustaqiim
[3] Maksudnya terputus di sini ialah terputus dari rahmat Allah. Rahmat Allah tentunya berhubungan dengan keimanan yang benar yaitu menjadi Islam dan al-Mukmin.
Pada akhirnya jika siapapun yang masih berpegang pada Pertolongan Allah (Qs 110: 1-3), ia akan selamat hanya dengan sadar untuk Taubat (QS 9) dan kalau dikehendakiNya, ia ditarik kedalam pintu tauhid yaitu ke-Esa-an seperti tersirat dalam surat al-Ikhlas (QS 112). Jika tidak, maka ia akan terjerembab kedalam panas Abu Lahab (Qs 111) yaitu ketersesatan karena dijajahnya jiwa yang tadinya murni dengan panasnya api kemarahan atas egosentrismenya yang tidak mau melihat kenyataan untuk Aslim dengan Islam. Inilah makna tersembunyi dari kisah api yang menjadi dingin ketika Ibrahim dibakar oleh raja dunia karena hanya menauhidkan Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya.
Di puncak pengetahuan, para pejalan ruhani pun akan dihempaskan dalam suatu dilema antara yang tahu dan tidak tahu, yang memahami dan tidak memahami, yang sadar dan tidak sadar, yang mengisahkan dan dikisahkan, yang menuliskan dan yang ditulisi, sebagai Tinta, Pena dan Kertas al-Haqq, sampai akhirnya realitas tentang dirinya diperkenalkan oleh Allah sebagai bagian dari penampilan hakikat Jamal dan Jalal Allah dimana ia adalah hamba-Nya dengan suatu atribusi khusus yang dianugerahkan kepadanya (misalnya Habib, Khalil, dll) karena ketentuan takdir yang telah ditetapkan Allah sejak azalinya (sejak pra-eksistensinya, QS 7:172). Dan diapun akan lahir kembali dalam kebaqoan Ilahiyah sesuai dengan misi dan peran yang ditetapkan Tuhan padanya dan sesuai dengan potensi, qadar, dan qadanya atau sesuai dengan takdir dan zamannya.
Dari bukuku : Kunfayakuun, Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, Bab 27.4
Sumber : http://atmonadi.com/?p=206
Misteri Taqdir? Anugerah Allah kpd seseorang sbg instrumen penglihatanNya yg sudah Dia pilih utk mendptkan gnosis yg sempurna
Posted by: Risalahati
Dedic Ahmad Updated at: 01:55
No comments:
Post a Comment