Tiga binatang adalah teman sekarib; dua ekor elang yang besar perkasa dan seekor katak mungil. Sesungguhnya seekor katak merupakan santapan lezat sang elang. Namun bukan mustahil sesuatu yang luar biasa bisa terjadi. Dan itu mungkin yang disebut sebagai keajaiban. Ketika sang rajawali hinggap dipinggir sebuah kubangan, mereka menemukan seekor katak, walau kecil namun menarik dan mampu meluluhlantakan ketamakan hati kedua elang itu. Perlahan mereka bersahabat, ada kasih, ada cinta, ada sayang yang terjalin di antara mereka.
Perlahan musimpun kini beralih. Belahan bumi bagian utara tempat di mana ketiga sekawan itu hidup kini perlahan dingin. Dan di awal musim dingin kawanan burung akan hijrah, terbang jauh ke belahan selatan yang lebih hangat. Kedua elangpun akan melakukan perjalanan yang sama, meninggalkan arus dingin yang bakal tiba dalam beberapa hari.
Sebuah perpisahan adalah saat yang sedih. Ada kesedihan bercokol dalam di dasar sanubari. Ada ratap tangis, ada air mata, ada kepedihan. Mereka tak meratapi perpisahan ini, tetapi menangisi saat pertemuan dulu. Mengapa hal itu terjadi? Mengapa mereka dulu pernah bertemu dan saling menjalin cinta? Namun menangisi masa silam sama halnya dengan kehampaan. Mereka harus melihat kenyataan saat kini.
"Seandainya engkau bisa terbang tinggi di angkasa raya..." demikian sang elang berkata-kata, "maka kita tak akan harus berpisah!" Sang katak yang kerdil kini berpikir keras mencari jalan, dan akhirnya muncul dengan sebuah gagasan gemilang. Ia membawa sebuah tongkat. Dengan paruhnya masing-masing kedua elang itu memegang kedua ujung tongkat, dan sang katak dengan mulutnya memegang erat di bagian tengah tongkat itu. Maka terjadilah... Ketiga binatang itu bersama-sama terbang riang di angkasa biru.
Semua binatang lain mengangkat wajah melihat keajaiban di atas sana. "Oh...Betapa hebatnya. Katakpun bisa terbang tinggi. Seandainya aku bisa terbang di langit biru." Demikian mereka berdecak kagum. Mendengar decakan kagum itu sang katak menjadi sangat bangga. Dalam hatinya ia tak henti-hentinya berkata pada dirinya sendiri, "Kalau bukan karena kepintaranku maka keajaiban ini tak akan pernah terjadi."
Tak lama berselang sebuah suara teriakan nyaring terdengar di telinga sang katak; "Wah...! Siapakah yang sedemikian pintarnya menemukan cara gemilang ini sehingga sang katakpun bisa terbang tinggi?" Sang katak kini tak mampu menahan diri. Ia ingin agar semua orang tahu bahwa hal ajaib ini terjadi karena kehebatannya. Karena itu dengan sekuat tenaganya sang katak membuka mulut dan berteriak; "Ini adalah hasil pikiran sa..." Sayang...seribu sayang! Sebelum ia mampu menyelesaikan kata-katanya, ia telah terjerembab jatuh, badannya menghantam wadas keras, dan seketika itu juga menjadi seonggok sampah tak bermakna. Wah....kalau seandainya sang katak tak berkoar mewartakan kebesaran dirinya sendiri, maka mereka akan bersama-sama tiba di dunia baru, dunia yang penuh kehangatan.
"Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."
Perlahan musimpun kini beralih. Belahan bumi bagian utara tempat di mana ketiga sekawan itu hidup kini perlahan dingin. Dan di awal musim dingin kawanan burung akan hijrah, terbang jauh ke belahan selatan yang lebih hangat. Kedua elangpun akan melakukan perjalanan yang sama, meninggalkan arus dingin yang bakal tiba dalam beberapa hari.
Sebuah perpisahan adalah saat yang sedih. Ada kesedihan bercokol dalam di dasar sanubari. Ada ratap tangis, ada air mata, ada kepedihan. Mereka tak meratapi perpisahan ini, tetapi menangisi saat pertemuan dulu. Mengapa hal itu terjadi? Mengapa mereka dulu pernah bertemu dan saling menjalin cinta? Namun menangisi masa silam sama halnya dengan kehampaan. Mereka harus melihat kenyataan saat kini.
"Seandainya engkau bisa terbang tinggi di angkasa raya..." demikian sang elang berkata-kata, "maka kita tak akan harus berpisah!" Sang katak yang kerdil kini berpikir keras mencari jalan, dan akhirnya muncul dengan sebuah gagasan gemilang. Ia membawa sebuah tongkat. Dengan paruhnya masing-masing kedua elang itu memegang kedua ujung tongkat, dan sang katak dengan mulutnya memegang erat di bagian tengah tongkat itu. Maka terjadilah... Ketiga binatang itu bersama-sama terbang riang di angkasa biru.
Semua binatang lain mengangkat wajah melihat keajaiban di atas sana. "Oh...Betapa hebatnya. Katakpun bisa terbang tinggi. Seandainya aku bisa terbang di langit biru." Demikian mereka berdecak kagum. Mendengar decakan kagum itu sang katak menjadi sangat bangga. Dalam hatinya ia tak henti-hentinya berkata pada dirinya sendiri, "Kalau bukan karena kepintaranku maka keajaiban ini tak akan pernah terjadi."
Tak lama berselang sebuah suara teriakan nyaring terdengar di telinga sang katak; "Wah...! Siapakah yang sedemikian pintarnya menemukan cara gemilang ini sehingga sang katakpun bisa terbang tinggi?" Sang katak kini tak mampu menahan diri. Ia ingin agar semua orang tahu bahwa hal ajaib ini terjadi karena kehebatannya. Karena itu dengan sekuat tenaganya sang katak membuka mulut dan berteriak; "Ini adalah hasil pikiran sa..." Sayang...seribu sayang! Sebelum ia mampu menyelesaikan kata-katanya, ia telah terjerembab jatuh, badannya menghantam wadas keras, dan seketika itu juga menjadi seonggok sampah tak bermakna. Wah....kalau seandainya sang katak tak berkoar mewartakan kebesaran dirinya sendiri, maka mereka akan bersama-sama tiba di dunia baru, dunia yang penuh kehangatan.
"Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."