Ibnu Atho'illah مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ(Barang siapa brcahaya prmulaannya,mk brcahaya pd akhirnya)


Makrifat Syekh Ibnu'Atha'illah

Dari sisi bahasa ‘arif memiliki sighat isim fa’il yang berarti orang yang mengenal atau mengetahui, Perkataan ‘arif adalah perkataan umum dalam tasawuf kerenanya ‘arif ditinjau dari segi tasawuf memiliki kriteria diantaranya: a). Cintanya hanya kepada Allah yang agung, b). tidak pernah mengendahkan yang banyak atau yang sedikit, yakni disegala hal. c). mematuhi segala perintah Allah, d). terlalu bimbang dari pertukaran keadaan.

Tetapi Ibnu ‘Atha’illah nampaknya disini menegaskan pengertian ‘arif sebagai orang yang bijak dalam melakukan segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu. Seiring pula dengan Abul Abbas Al-Mursi memprediksi pribadi Ibnu ‘Atha’illah sebagai orang yang bijak dan menjadi tokoh sufi yang bijak pula

Adapun Ma’rifat secara istilah adalah cara mengenal atau mengetahui eksistensi Tuhan dan orang yang mengetahui eksistensi Tuhan disebut ‘arif. Pengertian tersebut dapat diperluas lagi menjadi cara mengenal atau mengetahui eksistensi Tuhan melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa makhluk-makhluk Ciptaan-Nya. Karena itu, pengertian diatas menegaskan dua penjelasan.

Penjelasan yang pertama berupa Nur anugrah dari Allah yang diberikan secara langsung. Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut mawahib atau ‘ain al-ujd. Ibnu ‘Atha’illah menuliskan hikmah sebagai berikut :

مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ

Artinya : “Barang siapa bercahaya pada permulaannya, niscaya bercahaya pada akhirnya”.

Cahaya dalam pengertian disini, adalah Nur Iman (Cahaya ketauhidan) dengan cahaya ini manusia dapat melihat Allah dengan mata hatinya dan cahaya tersebut merupakan Hakikat cahaya yang sebenarnya.

Adapun tempat Cahaya ketuhanan tersebut ada di dalam hati. Sumber dari segala sumber, yakni sinar Ilmu, sinar ma’rifat, dan sinar tauhid. Keterangan ini sesuai dengan hikmah yang ditulisnya :

مَاطَاِلعُ ْاَلاْنوَارِ اْلقُلُوْبُ َواْلاَسْرَارُ

Artinya : “ tempat terbitnya berbagai cahaya Illahi itu ada dalam hati manusia dan rahasia-sahasianya”



Pada kesempatan lain, Ibnu ‘Atha’illah menyebutkan ada tiga cahaya yang merupakan bekal bagi manusia untuk dapat mengetahui kedekatan dengan Tuhan dan mensifati wujud Tuhan. Tiga macam cahaya tersebut adalah ,pertama Syu’aa’ul Bashiirah yakni dengan akalnya manusia dapat mengetahui akan hakikat dirinya dan mengarti bahwa Allah itu dekat dengannya. Kedua, ‘Ainul Bashiirah yakni dengan Ilmunya, manusia bisa mengetahui bahwa dirinya itu sama sekali tidak ada di dalam wujud Allah. Ketiga, Haqqul Bashirah, yakni dengan kesaksiannya, manusia bisa mengetahui bahwa dirinya yang semula tidak ada menjadi ada, kemudian menjadi tidak ada lagi, sama sekali tidak disamakan dengan ada-Nya Allah yang tida berawal dan tida berakhir. Dengan ketiga cahaya itulah manusia dapat mengetuhi, menghayati, mensifati tentang Wujud Tuhan.

Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan pula cahaya Illahi yang masuk kedalam hati sebagai Hidayah (petujuk) terdiri dari dua macam hati :

Cahaya yang masuk kedalam hati tetapi hanya di bagian luarnya saja (belum meresap kedalam hati). Hal ini menyebabkan pandangan seseorang tidak bisa sepenuhnya tertuju kepada Allah, karena sebagian hati yang lain masih tertambat pada kesenangan dunia.

Cahaya yang masuk dan meresap kedalam hati. Hal ini menyebabakan seseorang bisa dengan sepenuhnya mencintai dan mencurahkan perhatiannya hanya kepada Allah semata.

Sehubungan dengan hal ini, sebagian ahli Ma’rifat berkata :

“Apabila Iman itu ada dibagian Luar hati, maka seorang hamba akan mencintai dunia dan akhirat, yakni sebagian mencintai Allah dan sebagian mencintai dirinya. Dan apanila iman telah masuk kedalam lubuk hati maka dia akan membenci dunianya dan ditolak kehendak hawa nafsunya".



Di satu sisi Ibnu ‘Atha’illah memaknai cahaya yang ditulis diatas sebagai “hidayah" dalam melakukan suluk (Ibadah). Sebagaimana yang dilontarkan oleh Ust Labib Mz. Dalam Kitab Al-Hikam sebagai berikut :

“Apa bila seesorang itu pada awalnya sudah bercahaya, yakni banyak beribadah kepadanya, maka pada akhirnyapun ia akan bercahaya, yakni bisa berma’rifat kepada Allah, yang dengan Ma’ifatullah ini ia akan mancapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat”



Penjelaskan kedua, bahwa Ma’rifat dapat diraih dengan cara (tarekat) kesungguhan dalam melaukukan suluk (kesungguhan dalam beribadah), dan kesungguhan ini merupakan tonggak titik awal untuk mendapatkan puncak akhir dari Ikhsan (kebajikan spiritual), yang memainkan peran penting dalam ajaran Sufi. Pada kelompok Ikhsan ini, penegasan keesaannya adalah dengan akal (al-aql), mata (‘iyan), yakin (yaqin) dan kontemplasi (Musyahadah). Dalam istilah Abu Hasan al-Syadzili disebut sebagai makasib atau atau badzi al-majhud.

Dalam hal suluk Ibnu Athaillah menjelaskan dalam kitab Al-Hikam bahwa Ma’rifat bisa dicapai dengan jalan memperbanyak beribadah (suluk) kepada Allah. dalam hikmah yang ditulis sebagai berikut :

اَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ اْلبِدَايَاتِ مَجَلاَّتُ النِّهَايَاتِ وَاِنَّ مَنْ كَانَتْ بِااللهِ ِبدَايَتُهُ كَانَتْ اِلَيْهِ ِنهَايَتُهُ



Artinya : “ Amma Ba’du : sesungguhnya permulaan (suatu perkara) itu cermin yang memperlihatkan pada puncak kesudahannya. Dan sesungguhnya orang sejak permulaannya itu selalu bersandar kepada Allah, maka puncak kesudahannya akan samapai kepada-Nya,”



Permulaan yang baik akan membuahkan hasil yang baik, dan permulaan yang jelek akan membuahkan hasil yang jelak pula. Demikian pula apabila seseorang itu mempunyai keinginan untuk bertemu dengan Allah kemudian ia memulainya dengan cara yang baik dan usaha yang sungguh sungguh (suluk), niscaya pada akhirnya apa yang diinginkannya itu akan tercapai dengan baik pula.

Sebaliknya jika keinginan untuk bertemu dengan Allah tidak dimulai dengan cara yang baik dan tidak pula disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh (suluk), maka sudah barang tentu keinginannya itu hanya tinggal keinginan belaka tanpa ada hasil yang memuaskan

Dalam hal penegasan dengan akal (al-aql). Ibnu ‘Atha’illah menuliskan dalam Kitab Al-Hikam bahwa ‘arif dapat menyaksikan eksistensi Tuhan semata, sebagaimana Hikmah dibawah ini :

َكْيفَ يَتَصَوَّرُوْ اَنْ يَحْجُبَهُ شَْئٌ وَهُوَالَّذِىْ اَظْهَرَ كُلَّ شَئٍْ

Artinya : “ bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu padahal Allah yang mendahirkan (menampakkan) segala sesuatu”.

َكْيفَ يَتَصَوَّرُ اَنْ يَحْجُبَهُ شَْئٌ وَلوَْ لاَ هُ مَا َكانَ وُجُوْدُ كُلِّ شَئٍْ

Artinya : “bagaimana akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) lebih dekat kepadamu dari segal sesuatu”.


Dalam hal mata hati (iyan) menjelaskan bahwa satu mata dapat melihat Tajalli (penzahiran) sifat-sifat dan nama-nama Allah. Pandangan ini akan terus berlanjut sepanjang evolusi keruhanian berlangsung (yaitu pengalaman-pengelaman dalam tingkat-tingkat keruhania menuju Allah). Mata yang lainnya dapat melihat apa yang diterangi oleh cahaya atau nur tauhid dan keEsaan. Seorang salik yang telah masuk ke peringkat “disisi Allah” saja yang dapat melihat ke Esaan yang mutlak (yaitu Allah) yaitu mereka yang berad dalam peringkat tinggi yaitu Tajalli Dzat. Dalam hal ini Ibnu athaillah menyebutkan :

فَاِنَّهَا لاَتَعْمَىْ اْلاَبصَْارُ وَلكِنْ تَعْمَىْ اْلقُلُوْبُ التَّىِ فِى الصُّدُوْرِ.

Artinya : “ Sesungguhnya bukan matanya yang buta, tapi mata hatinyalah (yang buta) yang ada dalam rongga dada”.

Sedangkan dalam hal Musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman Al-Makky r.a. arti yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi qalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya. Sebagaimana perkiraan kilatan dalam kilatan yang bersambung. Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya siang. Begitupun qalbu, apabila keadaan tajalli tampat terus menerus, akan menjadi siang yang nikmat, tida malam sama sekali sejalan dengan Ibnu ‘Atha’illah yang menyebutkan :

َكْيفَ يَتَصَوَّرُ اَنْ يَحْجُبَهُ شَْئٌ وَهُوَ الَّذِىْ اَظْهَرُ كُلَّ شَئٍ

Artinya : “Bagaimana mungkin dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia (Allah) yang tampak dhahir pada segala sesuatu"



Berangkat dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahawa ma’rifat pandangan Ibnu Athai’llah adalah salah satu tujuan dari tarekat atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan.

Pertama, adalah mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugrah tersebut.

Kedua, adalah makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.


Macam macam Ma’rifat Pandangan Ibnu Atha’illah

Karya Al-hikam sejak beredarnya, telah banyak melahirkan syarah (komentar) dari beberap komentator atau pensyarah. Hikam adalah jamak dari hikmah yaitu kitab khusus yang menerangkan tiga bagian pokok; aforisme, risalah dan munajat (do’a). aforisme atau aksioma-aksioma spiritual merupakan bagian pertama al-Hikam dan merupakan subtansi dari seluruh bagian lainnya, dimana muatan dua bagian lainnya terbahas/tersaji dalam bagain aforisme.

Aforisme mengenai Ma’rifat adalah tema dasar kitab tersebut. Ia adalah ma’rifat iluminatif, dimana di sana terdapat benang yang merentang batu-batu permata, sehingga memberikan karya itu keutuhan dan pandangan yang menadsarinya.


Aforisme Tentang Tingkatan Ma’rifat

Aforisme-aforisme yang mendasar mengenai Ma’rifat, dapat dilihat dari tinggkatan-tingkatan sufisme yang ditulis Ibnu Atha’ilah yakni dibagi mejadi tiga tingakatan yaitu : Sinar matahati (syu’aa’ulbashirah) atau dapat disebut cahaya akal, matahati (Ainulbashirah) atau dapat disebut Cahaya Ilmu dan Hakikat Matahati (Haqqulbashirah) atau dapat disebut cahaya Illahi

ُشعَاعُ اْلبَصِيْرةِ يُشْهِدُكَ قُرْبَهُ مِنْكَ , وَعَيْنُ اْلبَصِيْرَةِ يُشْهِِدُكَ عَدَمَكَ لِوُجُوْدِهِ , وَحَقُّ اْلبَصِْيرَةِ يُشْهِدُكَ وُجُوْدَهُ لاَ عَدَمَكَ وَلاَوُجُوْدَكَ .



“Sinar Matahati itu dapat memeperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu. Dan Matahati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu karena wujud (adanya) Allah, dan Hakikat Matahati itulah yang menunjukan kepadamu, hanya adanya Allah, bukan ‘adam (ketiadaanmu) dan bukan pula wujudmu."



“Fikiran itu dua macam : fikiran yang timbul dari iman percaya, dan fikiran yang timbul karena melihat kenyaa, maka bagi yang pertama bagi orang salik yang mengambil dalil : Adanya makhluk menunukan adamnya Khalik, ialah mereka ahli I’tibar. Sedangkan yang kedua mereka yang terbuka hijab hingga dapat melihat kenyataan dengan mata hatinya.

Kemudian mereka yang kedua ini berdalil : ada yang menjadikan itulah yang menunjukan adanya benda yang dijadikan. Mengenai yang pertama dapat disebut dengan ma’rifat orang salih dan mengenai yang kedua dapat disebut ma’rifat orang mahjdzub Orang yang memfikirkan adanya alam, ada yang langsung melihat pada yang menjadikan, sehingga ia berkata : Karen adanya pencipta, maka terjadilah yang dicipta, dan sebaliknya ada yang terpengaruh oleh bendanya, sehingga berkata adanya ciptaan ini menunjukan adanya pencipta.

“hakikat ilmu yang diturunkan Allah kepada arifiin ketika tajalli itu Mujmal (Singkat), tetapi setelah tertangkap terjadinya penerangan (keterangan)nya ayat : maka apabila kami bacakan, ikutilah bacaannya, kemudian kami sedndiri yang akan menerangkannya (penjelasan perincian).


SUMBER : http://ridwanpsi.net23.net/1_13_Makrifat-Syekh-Ibnu-Atha-illah.html

Ibnu Atho'illah مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ(Barang siapa brcahaya prmulaannya,mk brcahaya pd akhirnya)
Posted by: Risalahati Dedic Ahmad Updated at: 02:39
Ibnu Atho'illah مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ(Barang siapa brcahaya prmulaannya,mk brcahaya pd akhirnya) RISALAHATI , By Risalahati, Published: 2010-03-20T02:39:00+07:00, Title: Ibnu Atho'illah مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ(Barang siapa brcahaya prmulaannya,mk brcahaya pd akhirnya), Rating5 of 8765432 reviews

No comments:

Post a Comment