Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?"
Aku berkata, "Hamba sahaya Paduka."
Ia berkata, "Kenapa kau ke mari?"
Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."
Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"
Aku berkata, "Sampai ada panggilan."
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan."
Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."
Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."
Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa."
Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair sufi terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna dan keindahan bahasa-- yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.
Aku berkata, "Hamba sahaya Paduka."
Ia berkata, "Kenapa kau ke mari?"
Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."
Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"
Aku berkata, "Sampai ada panggilan."
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan."
Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."
Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."
Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa."
Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair sufi terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna dan keindahan bahasa-- yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.
œ
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga
tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor
satu tarekat Maulawiah --sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan
berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh
besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman
pada sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan
akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat
Islam memang sedang dilanda penyakit itu.
Bagi kelompok yang mengagul-agulkan akal, kebenaran
baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala
sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat
mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam
itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan
karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala
hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan
beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, "Orientasi kepada indera dalam
menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori
kelompok Mu'tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh
kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah.
Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada
indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya."
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya
karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah
meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi
di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung
dalam obat. "Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan
adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya.
Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya
tersembunyi di dalamnya?" tegas Rumi.
œ
PENGARUH TABRIZ.
Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika berjumpa dengan
Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil
itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian
mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset.
Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September
1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad
al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar
hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai
daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah
seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya
penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama).
Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama
lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin
ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin
harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi
baru beruisa lima tahun.
Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah-
pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di
Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah,
Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di
Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi
sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah
perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini
pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada
Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya
memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas
saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut
mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya
sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di
samping sebagai guru, ia juga menjadi da'i dan ahli hukum Islam.
Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika
Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama
dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia
sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang
ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000
orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan
ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus
delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana,
Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan
khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba
seoranf lelaki asing --yakni Syamsi Tabriz-- ikut bertanya, "Apa
yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan
seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat
pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan
dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada
Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat
tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam
kamar hingga berhari-hari.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku
ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi
seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu
darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah
kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan
ilmu yang tiada taranya."
Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu.
Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian
lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes.
Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut
terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas
secara diam-diam meninggalkan Konya.
Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya
kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung
duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam
rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar
ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan
gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar
lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan
Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi
ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan
murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan
kembali ke Konya.
Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali
ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz.
Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan
mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi
sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran
takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus,
Tabriz tidak kembali lagi.
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan
Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi
dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga
ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung
gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal
dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan
gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi
baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya
itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan
himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i.
Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam
karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang
disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam
jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan
himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya
kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan
tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal
dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar).
Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian
berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir
mereka untuk mencapai ekstase.
œ
WAFAT. Semua
manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi
pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara
mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski
menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan,
"Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan."
Rumi sempat menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap manis,
kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan
pahit."
Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi
dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan,
penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian
seseorang yang dihormati ummatnya.
œ
Contributed by TB
Iwan
Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.
Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.
Setelah kelahiranku sebagai malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;
"Kepada Nya, kita semua akan kembali"
Apa Yang mesti Ku lakukan
Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal
didiku sendiri
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar,
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan dari wujud dan bukan dari hal
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari Bulgaria, bukan dari Saqsin,
Aku bukan dari Kerajaan Iraq, bukan dari negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia in ataupun dari akhirat, bukan dari Sorga ataupun Neraka
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus bukan dari Rizwan
Tempatku adalah Tanpa tempat, jejakku adalah tak berjejak
Ini bukan raga dan jiwa, sebab aku milik jiwa Kekasih
Telah ku buang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang ku panggil
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang bathin
Tidak ada yang kuketahui kecuali :Ya Hu" dan "Ya man Hu"
Aku mabok oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu
Aku tak berbuat apa pun kecuali mabok gila-gilaan
Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
Saat itu aku pasti menyesali hidupku
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak senyum,
Aku akan merambah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi Tabrizi, aku begitu mabok di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabok dan gila-gilaan.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar,
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan dari wujud dan bukan dari hal
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari Bulgaria, bukan dari Saqsin,
Aku bukan dari Kerajaan Iraq, bukan dari negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia in ataupun dari akhirat, bukan dari Sorga ataupun Neraka
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus bukan dari Rizwan
Tempatku adalah Tanpa tempat, jejakku adalah tak berjejak
Ini bukan raga dan jiwa, sebab aku milik jiwa Kekasih
Telah ku buang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang ku panggil
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang bathin
Tidak ada yang kuketahui kecuali :Ya Hu" dan "Ya man Hu"
Aku mabok oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu
Aku tak berbuat apa pun kecuali mabok gila-gilaan
Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
Saat itu aku pasti menyesali hidupku
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak senyum,
Aku akan merambah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi Tabrizi, aku begitu mabok di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabok dan gila-gilaan.
œ
Sebuah
Teladan oleh Jalaluddin Rakhmat
Contributed by Mohd
Rashdan
Jalaluddin Rumi
Posted by: Risalahati
Dedic Ahmad Updated at: 20:24
No comments:
Post a Comment