Alkisah, pada suatu para binatang besar di hutan ingin mengadakan sekolah bagi para binatang kecil. Para binatang besar itu ingin mengajarkan mata pelajaran yang dianggap penting untuk keberhasilan hidup di hutan, yaitu pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali. Tetapi, para binatang besar itu tak dapat sepakat untuk menentukan mata pelajaran mana yang paling penting. Sebagai keputusan, seluruh siswa diharuskan mengikuti seluruh mata pelajaran.
Saat sekolah dibuka dan menerima murid dari penjuru hutan, semuanya berbahagia. Semua berjalan lancar dan bergembira pada awalnya sampai suatu ketika terjadi peristiwa. Seekor kelinci yang menjadi siswa di sekolah tersebut mengalami masalah. Tak ada seorang pun di hutan yang tak mengetahui bahwa kelinci terkenal piawai berlari. Tapi saat mengikuti kelas berenang, ternyata kelinci nyaris tenggelam. Pengalaman itu mengguncangkan kelinci.
Dia berusaha terus berusaha mengikuti pelajaran berenang walaupun berada dalam trauma. Akibatnya, kelinci tak dapat lari secepat sebelumnya.
Demikian pun murid lain menghadapi masalah. Elang yang dikenal jago terbang ternyata menghadapi masalah dalam pelajaran menggali. Dia tak dapat berprestasi dalam pelajaran menggali sehingga harus belajar ekstra yang membuatnya melupakan keahlian terbangnya. Demikianlah. Kesulitan demi kesulitan dialami oleh binatang-binatang kecil lainnya, seperti bebek, burung pipit, bunglon, ular, dan sebagainya. Para binatang kecil itu tidak memiliki kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing. Sebab, mereka dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat alami mereka.
Ilustrasi menarik di atas dibuat oleh Thomas Armstrong (“In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child’s Multiple Intelligences”), untuk menggambarkan konsep Multiple Intelligences. Melalui ilustrasi di atas, Thomas Armstrong mencoba menggambarkan posisi teori Multiple Intelligences yang dipelopori oleh Howard Gardner.
Kecenderungan model pembelajaran di sekolah yang hanya mengembangkan dua jenis kecerdasan (kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika) sering membuat anak-anak dinilai gagal. Padahal, anak-anak yang dianggap gagal dalam sistem sekolah tersebut mungkin memiliki bentuk kecerdasan lain (kecerdasan ruang/spasial, kinestetis-jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal, naturalis).
Walaupun mereka tidak kompatibel dengan sistem sekolah yang ada, bukan berarti mereka bodoh dan tak akan berhasil di masyarakat. Mereka hanya memiliki kecerdasan dan cara belajar yang berbeda dengan yang biasanya digunakan di sekolah pada umumnya. Kini, semakin banyak sekolah dan pendidikan yang mencoba menerapkan teori Multiple Intelligences yang lebih menghargai keragaman bentuk kecerdasan dan gaya belajar anak.
Homeschooling adalah model pendidikan alternatif untuk menghargai dan mengembangkan anak secara individual. Homeschooling memiliki peluang untuk mengurangi kesalahan dalam penanganan gaya belajar anak. Sebab, orang tua adalah secara umumnya lebih dekat dan mengetahui kondisi anak-anaknya.
Jika pengetahuan terhadap kondisi anak-anak ini dibawa ke dalam kesadaran, pengetahuan ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga anak-anak dapat mengoptimalkan potensi dirinya.
~Potensi Diri~
Posted by: Risalahati
Dedic Ahmad Updated at: 09:06
No comments:
Post a Comment