Muqadimmah
Sebagai
seorang pujangga cinta Maulana Jalaluddin Rumi adalah salah satu tokoh
yang sangat populer di dunia Islam, melalui puisi dan syair dia
mengungkapkan dengan segala kekaguman diri akan hakikat cinta. Dengan
semangat baru melalui kekuatan perasaan dapat mengendalikan akal dan
nafsu dan mampu meletakkan asas bagi pembicaraan baru tanpa benturan
akal.
Sungguh suatu magnet yang sangat luar biasa. Maulana Jalaluddin Rumi mengibaratkan cinta seperti yang dia ungkapkan ”Cinta
dapat menghancurkan segala keraguan, dapat mengubah pahit menjadi
manis, debu beralih menjadi emas, kering menjadi bening, sakit menjadi
sembuh, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakan
besi, meghancurleburkan batu karang, membangkitkan yang mati dan
meniupkan kehidupan padanya, seta membuat budak menjadi pemimpin”.
Lebih dahsyat lagi dia menambahkan bahwa cinta adalah “sayap yang dapat menerbangkan manusia yang membawa beban yang sangat berat ke angkas raya, dan dari kedalaman mengangkatnya ke tinggian, dari bumi ke bintang Tsurayya”.
Syair
dan puisinya dapat menghangatkan hati yang terluka, menghembusakan
perasaan yang rindu kepada sang yang dicintai. Cinta adalah obat yang
paling mujarab bagi segala penyakit jiwa. Walaupun kini ia sudah tidak
ada tetapi syair dan puisi cintanya sangat melekat di hati dan sanubari
sang pencari cinta.
Riwayat Sang Pujangga
Maulana
Jalaluddin Rumi sebagai nama kebesaran memiliki nama lengkap
Jalalauddin Muhammad bin Muhammad al-Rumi yang menjadi cikal bakal
mengapa dinamakan Jalaluddin Rumi. Lahir pada 6 Rabi’ al-Awwal 604 H/30
September 1207 di Iran Utara tepatnya kota Balkh oleh sebab itu
orang-orang Parsi lebih suka memanggilnya dengan sebutan Jalalauddin
Balkhi ketimbang Jalalauddin Rumi (Rum=Bizantium).
Ayah Jalaluddin bernama Bahauddin Walad yang mempunyai julukan sebagai Sulthan al-Ulama
(rajanya para ulama) karena memang dia bertugas sebagai hakim dan
khatib, juga dikenal dengan keluasan ilmunya yang banyak dikagumi oleh
para ulama di kota Wakhsy. Di kota ini pula Jalaluddin Rumi tinggal bersama ibunya Mu’min Kahtun. Ketika Jalaluddin berumur lima tahun ia terpaksa hijrah ke Naisyapur bersama ayahnya, karena mendengar akan adanya agresi militer oleh tentara Kahwarizmsyah.
Di Naisyapur ayahnya bertemu dengan seorang sufi yang terkenal, Fakhruddin Razi sekaligus memberi tahu bahwa Jalaluddin
akan menjadi tokoh spiritual besar di zamannya. Antara tahun 1215-1220
setelah menunaikan ibadah Haji mereka tinggal beberapa waktu yang lama
di Aleppo atau Damaskus, di kota inilah Jalaluddin belajar kepada
beberapa guru ahli bahasa Arab yang sangat mashur dan pandai dalam
mencitakan bait-bait syair, mulai dari sinilah Jallaluddin mempelajari
penulisan syair sehingga ia dapat menuliskan sejumlah syair yang membuat
banyak orang terkenang dengan syair-syairnya
Untuk
kesekian kalinya Jalaluddin berhijrah dari satu tempat ketempat lain,
namun kali ini dia menuju Konya dari Khurasan. Ketika itu Jalaluddin
berumur 18 tahun. Di tahun itu pula dalam perjalanannya menuju Konya itu
ia menikahi seorang gadis dari rombongan yang pergi bersamanya. Di
Larada pada tahun 1226 putra pertama Jalaluddin lahir dan diberi nama
seperti nama kakeknya Sultan Walad. Lalu, keluarga itu mengadakan
perjalanan kembali menuju Konya. Jauh perjalanan yang mencapai 100 km
ternyata membuahkan hasil karena ayah Jalalauddin yang sudah berusia 80
tahun diberi kepercayaan untuk mengajar madrasah. Dan sebuah anugerah
kembali menghampiri Jalaluddin ketika masa-masa itu (1228/9) putra
keduanya lahir dan diberi nama Alaudin, yang merupakan nama saudara
laki-laki Jalaluddin yang meninggal di Larada. Pada tahun 1231 sang ayah
Bahauddin Walad meninggal dunia. Sehingga Jalaluddin menjadi penerusnya
dan mengajarkan kepada murid-murid ayahnya akan ilmu teolog.
Bahauddin Walad Seorang Sufi
Ketika
sang ayah meninggal dunia secara otomatis Jalaluddin menggantikan
posisinya. Akan tetapi, Jalaluddin belum mengetahui secara pasti bahwa
ayahnya adalah seorang mistikus bahkan sufi, tetapi sulit dijelaskan apakah Bahauddin Walad ini diakui secara sanad atau tidak.
Seorang
yang banyak mengetahui Jalaluddin adalah anaknya sendiri Sultan Walad
yang menuliskan Biografi lengkap mengenai kehidupan Jalaluddin
mengatakan bahwa sang kakek adalah “Sultanya para ulama…. Yang lebih tinggi dari Fakhtuddin Razi dan seratus orang seperti Ibn Sina”. Kitab Ma’aarif buah
tangan ayahnya sendiri yang belakangan baru diketahui oleh Jalaluddin
setelah seorang murid ayahnya Burhanuddin Muhaqqiq mengkisahkan di dalam
kitab tersebut sebuah catatan, komentar-komentar seperti layaknya buku
harian dan rangkuman khutbah-khutbanya yang telah banyak mengejutkan
orang yang membacanya, karena pengalaman mistik yang merupakan sesuatu
yang sangat tidak biasa. Kebebasannya dalam mengungkapkan pengalaman
cinta spritualnya sangat menakjubkan. Sesungguhnya dia telah mengalami
tahapan mistik tertinggi, sesuatu yang sensual, suatu cinta yang
sempurna kepada Tuhan, sampai ia berada dalam pelukan-Nya. Ditunjukkan dari salah satu baitnya yang berbunyi
Pergilah kepangkuan Tuhan
Dan Tuhan akan memelukmu dan mencintaimu dan menunjukkan
Bahwa ia tidak akan membiarkanmu lari dari-Nya.
Ia akan menyimpan hatimu dalam hati-Nya,
Siang dan malam. (Ma’arif, h.28)
Bertemunya Jalaluddin dengan Syamsuddin Tibriz Dan Karya-karya Maulana
Pada
tahun 1230 dan awal 1244 adalah masa-masa di mana Jalaluddin memiliki
banyak murid dan cukup berepengaruh di tingkat pemerintahan, sebagai
seorang yang alim, mengajar dan bermeditasi. Dia mengunakan pengaruh
kebesarannya untuk membantu orang miskin dan para murid-muridnya.
Sebelum
menjadi orang yang termashur di Konya, Jalaluddin adalah orang yang
sudah terbiasa dengan syair dan puisi. Dan ketika membaca karya-karya
Sanai, terkagum-kagumlah Rumi. Kekagumannyapun pada tokoh inipun ia
salurkan dalam bait Kitabnya Diwan al-Kabir.
Seorang berkata:”Wahai, Tuanku Sanai telah meninggal dunia!”
Aduhai, kematian orang itu bukan hal yang sepele!
Ia bukan sekedar benang yang terbang bersama angin,
Ia bukan air yang membeku karena dingin,
Ia bukam sisir yang patah di rambut,
Ia bukam butiran yang hancur di dalam tanah.
Ia adalah emas yang ada dalam debu….(Diwan al-Kabir 1007)
Hal
yang mungkin sama terjadi ketika itu terulang kembali. Namun, ini
merupakan sesosok orang yang ia temui secara fisik di perjalanan menuju
pulang dari tempat ia mengajar. Oktober 1244 /Jumad al-Akhir 642 H
tepatnya, sosok yang tidak ia kenali itu menanyakan satu hal, walau
masih perdebatan, akan tetapi dari sumber yang terpercaya mengatakan
orang yang tak dikenal bertanya kepada Maulana Jalaluddin. “Siapa yang
lebih agung, Muhammad Rasulullah atau sufi Persia, Bayazid Bisthami yang
mengatakan Subhani, Maha Suci diriku?” Sebuah pertanyaan
yang singkat tapi mengagetkan Jalaluddin, sampai-sampai ia jatuh
pingsan. Orang yang menanyakan itu adalah seorang sufi dari Tabriz Iran bernama Muhammad bin Ali bin Malik Daad, lebih dikenal dengan Syamsuddin Tabriz.
Pertemuan
ini pun akhirnya menjadikan Jalaluddin dan Syamsuddin Tabriz
bersahabat, bahkan keduanya tak terpisahkan lagi, mereka menghabiskan
waktu bersama-sama. Dan anaknya pun Sultan Walad berkata mengenai persahabatannya “Sesungguhnya
seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari
sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau
cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataanya. Dalam diri Tabriz, guru
besar itu melihat kandungan ilmu yang tiadatara”.
Syamsuddin yang berarti “matahari agama”, bagi Rumi, Syams adalah matahari yang luar
biasa, matahari yang mengubah seluruh hidupnya, membakarnya, membuat
menyala, dan membawanya ke dalam cinta yang sempurna. Sebuah syair
berbunyi mengenai Syams
Citra impiananmu ada di dada kami
Sejak fajar kami sudah dapat merasakan sang surya. (Diwan al-Syams 2669)
Wajahmu bak sang mentari, Wahai Syamsuddin
Yang dengan hati berkelana bagai cawan!
Kemesraan
yang tampak dari kedunya ternyata tak diamini oleh keluarga dan
muridnya. Karena bagaimana mungkin seorang guru mengabaikan tugas
mengajar dan keluarganya?
Situasi yang yang kurang mengenakan ini terbaca oleh Syams, akhirnya ia memutusakan untuk pergi meninggalkan Maulana secara misterius; semisterius kedatangannya.
Jalaluddin
merasa patah hati, yang dapat dilakukannya dari perpisahan dengan
mataharinya adalah dengan merubah dirinya menjadi penyair, mulai
mendengarkan musik, bernyayi, menari berputar-putar berjam-jam. Dan
mencoba menulis surat kepada Syams, tetapi darwis itu menghilang tak
tentu rimbanya dan jawabanpun tak kunjung tiba.
Aku menulis seratus surat,
Aku menilis seratus jalan
Tampaknya tak kau baca selembar surat pun,
Tampaknya tak kau ketahui satu jalan pun. (Diwan al-syams)
Pada suatu saat akhirnya diketahui kalau Syams berada di kota Damaskus, dengan senang sekali
ia langsung mengutus anaknya Sultan Walad untuk menjemputnya dan
tinggal bersamanya. Sekembali Syams dari kepergiaanya, rupanya
kecemburuan kembali lagi, kali ini anaknya Alauddin yang
merasa terganggu. Maka suatu malam ketika Syams berbincang dengan
Maulana, dia dipanggil lewat pintu belakang. Dia melangkah keluar dan
tak pernah kembali.
Syam
tak pernah kembali: Dan apalah hidup ini tanpa sang matahari? Semesta
alam tampaknya turut berduka cita bersama Maulana. Dengan harapan yang
tak mungkin terjadi, Maulana pergi ke Suriah. Akan tetapi, kemudian “dia
menemukannya dalam dirinya, bersinar bak rembulan”.
Ia
Berkata: “Karena aku adalah dia. Apa gunanya mencari? Aku sama dengan
dia, zatnyalah yang berbicara! Sebenarnaya yang kucari adalah diriku
sendiri, itu pasti.Yang mencari dalam tong, bak air anggur.”
Begitulah Sultan Walad menceritakan ayahnya dalam Waladnama, karyanya.
Karena memang dahulu ketika hijrah ke Damaskus banyak belajar dengan
para ulama-ulama yang mashur dengan karya-karya puitisnya maka itulah
yang banyak ia pelajari dan ia banyak cipta dalam hasil karyanya. Namun
apa yang lantas melatar belakanginya untuk membuat syair itu, jawabanya
ada dalam Fihi ma Fihinya, yang mengatakan bahwa dia menulis
syair guna menghibur sahabat-sahabatnya, Jalaluddin mengibaratanya
seolah-olah seseorang harus mencuci dan membersihkan daging karena
tamu-tamunya menginginkan makanan tersebut. Benar-benar sangat
menakjubkan, karena bagaimanapun ia telah menulis lebih dari empat puluh
ribu syair lirik dan lebih dari dua puluh lima ribu baris syair
didaktik.
Walau
perlu diingat puisi dikalangan Islam taat sama sekali tidak bersahabat,
mengingat dahulu puisi di zaman pra Islam berhubungan dengan sihir dan
umumnya sering berhubungan dengan hal-hal yang diharamkan.
Ghazal-ghazal
Rumi, secara formal dan teknis berasal dari pengalaman pribadi
langsung, seperti ketika mencari seorang sahabat yaitu Syams, Maulana
berkata:
Bila orang itu mengatakan,
“Aku telah melihat Syams!”
Maka tanyakanlah,
“Kemanakah jalan menuju surga?”
Syair-syairnya
pun banyak lahir dari hasil meditasinya mendengarkan musik dan taran
berputar, yang sering berlangsung selama berjam-jam. Jumlah karnyanya
sebanyak enam buah kitab yang seluruhnya berkekuatan sastra yang
memikat.
Diwan al-Kabir
sebuah kitab berisi tentang pengalamanya bersama sang guru yang
menghilang. Maka belakangan kumpulan syair ini lebih dikenal dengan
sebutan Diwan al-Syams. Kemudian Maqalat al-Syams Tibriz Bunga rampai dari catatan dan nasihat-nasihat Syams kepada Maulana Jalaluddin Rumi. Kitab yang sangat monumental dan fenomenal adalah Masnawi Ma’nawi yang
Maulana susun selama 15 tahun ketika ia bersahabat dengan Hisamuddin
Hasan dan juga sebagai ucapan terimakasih kepada Sanai’ karena memang
kitab kumpulan ini mirip sekali dengan kitabnya yang berjudul Hadiqah al-Haqiqah. Al-Masnawi
yang dikarang Maulana berjumlah kurang lebih 25.700 bait syair
berirama, terbagi dalam enam jilid. Dalam karyanya itu mengkisahkan
tentang ajaran-ajaran Tasawwuf dalam bentuk anekdot, legenda dan
apologi. Karya lainya Rubaiyyat, sajak empat baris yang berjumlah 1600 bait. Fihi ma Fihi yang Maulana tulis dalam bentuk prosa, merupakan himpunan ceramah-ceramah Tasawufnya. Dan yang terakhir adalah Maktubat
yaitu himpunan surat-surat kepada para sahabat dan para pengikutnya.
Kesemaunya itu adalah merupakan karya puitis Maulana Jalaluddin Rumi.
Manifestasi Cinta
‘Isyq, ‘asyiq, ma’syuq.
“Cinta, sang pencinta, yang dicintai”.
Ungkapan maulana Jalaluddin Rumi dalam Masnawi. Maulana
Jalaluddin Rumi seketika mengajak kita untuk merasakan cinta,
mengungkap rahasia cinta, mengungkapkan keajaibanya dan bagaimanakah sebenarnya cinta itu.
Bagaimanakah keadaan sang pencinta?”
Tanya seorang laki-laki
Kujawab,”jangan bertanya seperti itu, sobat:
Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu;
Ketika dia memanggilmu,
Engkaupun akan memanggilNya (Diwan 2733)
Maulana tahu bahwa dirinya tak pernah berbicara tentang cinta dengan benar, tetapi segenap karyanya adalah upaya
untuk menjelaskan cinta, cinta yang telah memindahkan dirinya dari
hidup normal dan telah mengubahnya menjadi sseorang penyair. Penyair
yang kata-katanya tak lain adalah ulasan yang tak pernah ada artinya
tentang misteri illahi.
Menurut
Maulana Cinta itu pra-abadi, cinta itu magnet; sejurus lamanya cinta
benar-benar menyinarkan jiwa, kemudian ia pun menjadi perangkap yang
menjerat burung jiwa, yang kepada burung, jiwa inilah cinta menawarkan
realitas, dan semua ini hanyalah permulaan cinta, tidak ada manusia yang
mencapai ujungnya!
Salah satu pujian di mana Maulana mencoba menemukan apa cinta itu, dimulai dengan pernaytaan
Duhai Cinta, siapa yang bentuknya lebih indah,
Engkau atau tanaman dan kebun apelmu? (Diwan 2138)
Dan
syair itu dilanjutkan dalam irama yang menari-nari, menuturkan
tindakan-tindakan cinta yang luar biasa, yang mendorong setiap atom dan
pepohonan menari-nari dan mengubah segalanya.
Tanpa
cinta, dalam kehidupan tidak akan ada kebahagiaan karena kehidupan akan
menjadi hambar yang tiada batasnya itu. Visinya memanggil pulang si
pengelana:
Aku berkelana terus, aku melangkah dari akhir ke awal
Dalam mimpi, gajah ini melihat gurun luas Hindustanmu!
Rumi
pernah mendengar Cinta bertutur kepada dirinya, bahwa dia sendiri itu
api, yang dinyalakan oleh angin cinta, tetapi perumpamaan menggambarkan
situasi itu sebaliknya.
Cinta itu api yang akan mengubahku menjadi air,
Seandainya aku batu yang keras,
(Diwan 2785)
Dalam
sebuah amsal yang bagus, Rumi menyamakan cinta dengan kilat yang
cahayanya membakar awan yang menyembunyikan rembulan hancurlah apapun yang kiranya tetap menyirnai wajah sang tercinta yang seperti rembulan itu.
Cinta
adalah oven untuk menghangatkan segala yang membeku di dunia materi,
dan juga api di bawah tempat melebur logam di mana baja menjadi meleleh
menanti dirinya diubah menjadi emas murni oleh alkemi cinta. Karena
cinta menuntut agar semua yang mencarinya harus masuk ke dalam tempat
peleburan logam.
Cinta seperti menara cahaya
Di dalam menara itu api!
Seperti burung-burung unta,
Jiwa-jiwa yang mengitari menara itu
Makanan mereka api yang sangat lezat (Diwan 2690)
Cinta itu samudra yang gelombangnya tak terlihat
Air samudra itu api ssedangkan ombaknya itu mutiara.
(Diwan 1096)
sumber: http://poetraboemi.wordpress.com/
Manifestasi Cinta Maulana Jalaluddin Rumi
Posted by: Risalahati
Dedic Ahmad Updated at: 15:18
No comments:
Post a Comment