Salah satu cara untuk belajar mengenal dan tajub dengan Sang Pencipta adalah dengan mengenali ciptaan-Nya yang sempurna.
Nah, dengan pertimbangan itulah kami posting tulisan tentang Kehidupan Maulana Jalaluddin Rumi, figur yang menurut kami adalah salah satu contoh MahaKarya Allah SWT. Tulisan ini kami copy dari blog:http://lifeat40.com/aboutlife.asp?vID=3, terimakasih buat Pengelola Blog tersebut, semoga Allah balas dengan sebaik-baik balasan..amin. Mari kita cermati dan teladani…
Jalal Al-Din Muhammad Ar-Rumi dilahirkan pada 6 Rabi’ul Awwal tahun 604 Hijriyyah (30 September 1207) di Balkh, salah satu wilayah Afganistan. Ayahnya bernama Muhammad bergelar Baha’ Al-Din Walad, tokoh ulama dan guru besar di negerinya di masa itu. Menurut catatan sejarah, Maulana Jalal Al-Din Rumi masih keturunan dari Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq R.A dari pihak ayahnya dan Imam Ali bin Abu Thalib kwh dari pihak ibunya.
Pada tahun 630 Hijriyyah, Jalal Al-Din Rumi pergi ke negeri Syams untuk melanjutkan pendidikan. Para guru di sekolahnya, bahkan para ulama di negeri itu secara jujur mengakui kecerdasan dan kepandaian Jalal Al-Din. Disebabkan ia memiliki wawasan yang luas, khususnya dalam bidang ilmu agama Islam.
Ia sempat juga bermukim di kota Damaskus, di sanalah ia berjumpa dengan beberapa tokoh sufi salah satunya adalah Syeikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Dari Damaskus, ia kembali lagi ke kota Konya (Turki) dan aktif mengajar serta memberikan fatwa.
Sejak itu, Konya menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Di kota ini pula murid-murid Syeikh Ibn ‘Arabi bermukim, di antaranya Syeikh Shadruddin Al-Qunawi. Maulana Jalal Al-Din Rumi memimpin madrasah yang memiliki murid kurang lebih 4000 orang.
Pada Jumadil Akhir 642 Hijriyyah berjumpa dengan seorang sufi dari Tabriz, sebuah daerah di wilayah Iran, yang bernama Muhamamd Ibn ‘Ali Ibn Malik Daad yang kemudian di kenal dengan nama Syamsi Tabriz.
Semenjak perjumpaan itu, Maulana Jalal Al-Din Rumi berguru kepada Syamsi Tabriz karena ketinggian ilmunya dan sikap hidupnya yang sangat kental sebagai seorang sufi. Gurunya itulah kemudian banyak menunjukkan kepadanya berbagai kebenaran, bahkan ia mengatakan: “dia-lah yang mempertebal keyakinan dan keimananku”.
Sepanjang hidupnya Jalal Al-Din Rumi tercatat sebagai pribadi yang rajin, tekun, alim dan banyak beribadah. Dituturkan oleh salah seorang muridnya, bahwa Maulana kerap terlihat tidur tanpa sehelai hamparan, kalau rasa kantuknya menyerang ia bisa lelap dalam keadaan duduk. Jika waktu shalat hampir tiba, ia segera bergegas menghadap Kiblat, air mukanya menjadi berubah dan tampak khusyu’, kemudian ia tenggelam dalam shalatnya, layaknya sedang memadu kasih dengan Tuhan-nya. Maulana menggambarkan shalat yang khusyu’ bagaikan seorang yang tengah kasmaran dan hampir-hampir tidak ingat diri. Maulana Jalal Al-Din Rumi dikenal pula seorang yang zuhud, dermawan, dan bersahaja.
Tiap kali ia menemukan kesulitan, ia mengatakan: “sekarang aku mencium aroma ketundukan dan kepasrahan kepada Allah SWT”.
Dua buah karya besar Maulana Jalal Al-Din Rumi adalah Matsnawi: berupa kumpulan sajak, puisi-puisi cinta kepada Tuhan Sang Kekasih; dan Fihi ma Fihi (inilah yang sebenarnya). Jalal Al-Din Rumi wafat tanggal 5 Jumadil Akhir tahun 672 Hijriyyah.
Sajak-sajak dan karya-karyanya banyak diminati baik Muslim maupun Non-Muslim, bahkan di negara-negara Barat. Dengan membaca sajak-sajaknya banyak dari pembacanya yang semula picik beralih menjadi lapang dan siap menerima kebenaran.
Dengan mempelajarinya, akal yang semula tumpul berubah dengan ketajaman analisis. Seorang yang memiliki persoalan ruwet, kemudian menjadi tenang.
Jalal Al-Din Rumi mengajak manusia ke kehidupan cinta seperti sajaknya yang berbunyi:
“Sungguh, cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis,
debu beralih emas,
keruh menjadi bening,
sakit menjadi sembuh,
penjara berubah telaga,
derita beralih nikmat,
dan kemarahan menjadi rahmat,
cinta mampu melunakkan besi,
menghancur leburkan baru karang,
membangkitkan yang mati,
dan membuat budak menjadi pemimpin”.
SEVEN ADVICE OF MEVLANA
1. In generosity and helping others be like a river
2. In compassion and grace be like sun
3. In concealing others faults be like night
4. In anger and fury be like dead
5. In modesty and humility be like earth
6. In tolerance be like a sea
7. Either exist as you are or be as you look
Sajak beliau tentang pentingnya menempuh jalan sufi sebaiknya memiliki Pembimbing:
Jangan masuki lembah ini tanpa pemandu; [1]
ikutilah ucapan sang Khalilullah Ibrahim a.s, “… Aku tidak suka
sesuatu yang tenggelam …” [2]
Bertolaklah dari dunia bayangan, raihlah matahari:
berpeganglah ke lengan baju Lelaki seperti Syamsi-Tabriz. [3]
Jika belum kau ketahui alamat pesta perkawinan seperti ini,
carilah Cahaya al-Haqq, Husamuddin. [4]
Ketika engkau tengah menempuh Jalan, dan tenggorokanmu
tercekik iri-dengki, ketahuilah, itu ciri iblis;
dia melanggar batas karena iri-dengki.
Karena iri-dengkinya, dia membenci Adam a.s; [5]
dan karena iri-dengki pula dia berperang melawan kebahagiaan. [6]
Di dalam Jalan, tiada lorong sempit yang lebih sulit
daripada hal ini; beruntunglah pejalan yang tidak membawa
iri-dengki sebagai teman.
Ketahuilah, ragamu adalah sarang iri-dengki;
para warga di dalamnya tercemari oleh iri-dengki.
Semula, raga ini Tuhan buat sangat murni, tapi
kemudian menjadi sarang iri-dengki.
Ayat-Nya, “… dan sucikanlah rumah-Ku …” [7]
adalah perintah untuk memurnikan diri;
karena hanya di dalam qalb yang tersucikan tersimpan
harta-karun Cahaya Ilahiah, itulah sejatinya Permata Bumi.
Jika tipu-daya dan iri-dengki kau tujukan kepada seseorang
yang tanpa iri-dengki, maka asap gelap naik menghitamkan qalb-mu.
Perlakukanlah dirimu bagaikan debu di kaki para Lelaki Ilahiah,
seraya engkau benamkan iri-dengkimu ke tanah.[]
(Rumi: Matsnavi, I no 428 - 436, terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson)
Catatan puisi di atas (oleh Herman Soetomo):
[1] Jangan menempuh jalan pencarian tanpa bimbingan seorang Guru Sejati
[2] QS [6]: 76.
[3] “Matahari dari Tabriz,” pembimbing Mawlana Rumi ke Jalan pencarian Tuhan.
[4] Husamuddin, salah seorang murid kesayangan Mawlana Rumi,
bergelar “Zhiya ul-Haqq”. Diriwayatkan bahwa dialah yang mencatat
ujaran-ujaran Mawlana Rumi yang kemudian dikenal sebagai Matsnavi.
[5] QS [38]: 76, “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api,
sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah,” merupakan ucapan Azazil
yang menjadi sumber pertama iri-dengki; sejak itu dia terusir dan dikenal sebagai iblis.
[6] QS [38]: 82 - 83, “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka
semuanya,kecuali abdi-abdi-Mu yang al-Mukhlashiin”.
Nah, dengan pertimbangan itulah kami posting tulisan tentang Kehidupan Maulana Jalaluddin Rumi, figur yang menurut kami adalah salah satu contoh MahaKarya Allah SWT. Tulisan ini kami copy dari blog:http://lifeat40.com/aboutlife.asp?vID=3, terimakasih buat Pengelola Blog tersebut, semoga Allah balas dengan sebaik-baik balasan..amin. Mari kita cermati dan teladani…
Jalal Al-Din Muhammad Ar-Rumi dilahirkan pada 6 Rabi’ul Awwal tahun 604 Hijriyyah (30 September 1207) di Balkh, salah satu wilayah Afganistan. Ayahnya bernama Muhammad bergelar Baha’ Al-Din Walad, tokoh ulama dan guru besar di negerinya di masa itu. Menurut catatan sejarah, Maulana Jalal Al-Din Rumi masih keturunan dari Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq R.A dari pihak ayahnya dan Imam Ali bin Abu Thalib kwh dari pihak ibunya.
Pada tahun 630 Hijriyyah, Jalal Al-Din Rumi pergi ke negeri Syams untuk melanjutkan pendidikan. Para guru di sekolahnya, bahkan para ulama di negeri itu secara jujur mengakui kecerdasan dan kepandaian Jalal Al-Din. Disebabkan ia memiliki wawasan yang luas, khususnya dalam bidang ilmu agama Islam.
Ia sempat juga bermukim di kota Damaskus, di sanalah ia berjumpa dengan beberapa tokoh sufi salah satunya adalah Syeikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Dari Damaskus, ia kembali lagi ke kota Konya (Turki) dan aktif mengajar serta memberikan fatwa.
Sejak itu, Konya menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Di kota ini pula murid-murid Syeikh Ibn ‘Arabi bermukim, di antaranya Syeikh Shadruddin Al-Qunawi. Maulana Jalal Al-Din Rumi memimpin madrasah yang memiliki murid kurang lebih 4000 orang.
Pada Jumadil Akhir 642 Hijriyyah berjumpa dengan seorang sufi dari Tabriz, sebuah daerah di wilayah Iran, yang bernama Muhamamd Ibn ‘Ali Ibn Malik Daad yang kemudian di kenal dengan nama Syamsi Tabriz.
Semenjak perjumpaan itu, Maulana Jalal Al-Din Rumi berguru kepada Syamsi Tabriz karena ketinggian ilmunya dan sikap hidupnya yang sangat kental sebagai seorang sufi. Gurunya itulah kemudian banyak menunjukkan kepadanya berbagai kebenaran, bahkan ia mengatakan: “dia-lah yang mempertebal keyakinan dan keimananku”.
Sepanjang hidupnya Jalal Al-Din Rumi tercatat sebagai pribadi yang rajin, tekun, alim dan banyak beribadah. Dituturkan oleh salah seorang muridnya, bahwa Maulana kerap terlihat tidur tanpa sehelai hamparan, kalau rasa kantuknya menyerang ia bisa lelap dalam keadaan duduk. Jika waktu shalat hampir tiba, ia segera bergegas menghadap Kiblat, air mukanya menjadi berubah dan tampak khusyu’, kemudian ia tenggelam dalam shalatnya, layaknya sedang memadu kasih dengan Tuhan-nya. Maulana menggambarkan shalat yang khusyu’ bagaikan seorang yang tengah kasmaran dan hampir-hampir tidak ingat diri. Maulana Jalal Al-Din Rumi dikenal pula seorang yang zuhud, dermawan, dan bersahaja.
Tiap kali ia menemukan kesulitan, ia mengatakan: “sekarang aku mencium aroma ketundukan dan kepasrahan kepada Allah SWT”.
Dua buah karya besar Maulana Jalal Al-Din Rumi adalah Matsnawi: berupa kumpulan sajak, puisi-puisi cinta kepada Tuhan Sang Kekasih; dan Fihi ma Fihi (inilah yang sebenarnya). Jalal Al-Din Rumi wafat tanggal 5 Jumadil Akhir tahun 672 Hijriyyah.
Sajak-sajak dan karya-karyanya banyak diminati baik Muslim maupun Non-Muslim, bahkan di negara-negara Barat. Dengan membaca sajak-sajaknya banyak dari pembacanya yang semula picik beralih menjadi lapang dan siap menerima kebenaran.
Dengan mempelajarinya, akal yang semula tumpul berubah dengan ketajaman analisis. Seorang yang memiliki persoalan ruwet, kemudian menjadi tenang.
Jalal Al-Din Rumi mengajak manusia ke kehidupan cinta seperti sajaknya yang berbunyi:
“Sungguh, cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis,
debu beralih emas,
keruh menjadi bening,
sakit menjadi sembuh,
penjara berubah telaga,
derita beralih nikmat,
dan kemarahan menjadi rahmat,
cinta mampu melunakkan besi,
menghancur leburkan baru karang,
membangkitkan yang mati,
dan membuat budak menjadi pemimpin”.
SEVEN ADVICE OF MEVLANA
1. In generosity and helping others be like a river
2. In compassion and grace be like sun
3. In concealing others faults be like night
4. In anger and fury be like dead
5. In modesty and humility be like earth
6. In tolerance be like a sea
7. Either exist as you are or be as you look
Sajak beliau tentang pentingnya menempuh jalan sufi sebaiknya memiliki Pembimbing:
Jangan masuki lembah ini tanpa pemandu; [1]
ikutilah ucapan sang Khalilullah Ibrahim a.s, “… Aku tidak suka
sesuatu yang tenggelam …” [2]
Bertolaklah dari dunia bayangan, raihlah matahari:
berpeganglah ke lengan baju Lelaki seperti Syamsi-Tabriz. [3]
Jika belum kau ketahui alamat pesta perkawinan seperti ini,
carilah Cahaya al-Haqq, Husamuddin. [4]
Ketika engkau tengah menempuh Jalan, dan tenggorokanmu
tercekik iri-dengki, ketahuilah, itu ciri iblis;
dia melanggar batas karena iri-dengki.
Karena iri-dengkinya, dia membenci Adam a.s; [5]
dan karena iri-dengki pula dia berperang melawan kebahagiaan. [6]
Di dalam Jalan, tiada lorong sempit yang lebih sulit
daripada hal ini; beruntunglah pejalan yang tidak membawa
iri-dengki sebagai teman.
Ketahuilah, ragamu adalah sarang iri-dengki;
para warga di dalamnya tercemari oleh iri-dengki.
Semula, raga ini Tuhan buat sangat murni, tapi
kemudian menjadi sarang iri-dengki.
Ayat-Nya, “… dan sucikanlah rumah-Ku …” [7]
adalah perintah untuk memurnikan diri;
karena hanya di dalam qalb yang tersucikan tersimpan
harta-karun Cahaya Ilahiah, itulah sejatinya Permata Bumi.
Jika tipu-daya dan iri-dengki kau tujukan kepada seseorang
yang tanpa iri-dengki, maka asap gelap naik menghitamkan qalb-mu.
Perlakukanlah dirimu bagaikan debu di kaki para Lelaki Ilahiah,
seraya engkau benamkan iri-dengkimu ke tanah.[]
(Rumi: Matsnavi, I no 428 - 436, terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson)
Catatan puisi di atas (oleh Herman Soetomo):
[1] Jangan menempuh jalan pencarian tanpa bimbingan seorang Guru Sejati
[2] QS [6]: 76.
[3] “Matahari dari Tabriz,” pembimbing Mawlana Rumi ke Jalan pencarian Tuhan.
[4] Husamuddin, salah seorang murid kesayangan Mawlana Rumi,
bergelar “Zhiya ul-Haqq”. Diriwayatkan bahwa dialah yang mencatat
ujaran-ujaran Mawlana Rumi yang kemudian dikenal sebagai Matsnavi.
[5] QS [38]: 76, “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api,
sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah,” merupakan ucapan Azazil
yang menjadi sumber pertama iri-dengki; sejak itu dia terusir dan dikenal sebagai iblis.
[6] QS [38]: 82 - 83, “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka
semuanya,kecuali abdi-abdi-Mu yang al-Mukhlashiin”.
Maulana Jalaluddin Rumi, Sebuah MahaKarya Allah SWT
Posted by: Risalahati
Dedic Ahmad Updated at: 15:24
No comments:
Post a Comment