Beliau adalah Sulthan al-Awliya, Sulthan al-Muhibbin, “Sang darwis yang berputar,” dan penyair Sufi terbesar Persia yang amat terkenal di seluruh dunia – kepopulerannya menembus ke wilayah nonMuslim dan mengilhami banyak penyair muslim maupun nonmuslim, dari golongan Sufi hingga penyair profan. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa mulai dari dunia wilayah Timur hingga Barat. Pesan-pesan spiritual dan cinta-mistisnya diakui amat relevan disegala zaman, bahkan hingga di dunia kontemporer yang materialistis. Badan PBB UNESCO bahkan menetapkan tahun 2007 sebagai “Tahun Rumi.” Para pengikutnya mengabadikan ajaran-ajarannya dengan mendirikan Tarekat Maulawiyyah, yang terkenal dengan “tarian gasing.”
Kekasih memancarkan cahaya laksana mentari
Para pecinta berputar mengelilinginya laksana atom
Ketika angin musim semi cinta mulai berhembus
Setiap ranting yang belum kering turut menari
- Maulana Rumi
Maulana Jalaluddin Muhammad ibn Husayn al-Khatibi al-Bahri al-Rumi lahir pada 30 September 1207 (6 Rabiul Awwal 604 H) di Balkh, Khurasan (Afghanistan sekarang). Ayahnya adalah Bahauddin Walad, seorang ulama Sufi yang berpengaruh. Menurut sebagian tradisi, Maulana Rumi masih keturunan dari Sayyidina Abu Bakar ra. dari jalur ayahnya ini. Ibunya adalah Mu’min Khatun, yang masih keturunan bangsawan Dinasti Khawarizmi yang berkuasa di Bukhara pada saat itu. Sejak kecil Maulana Rumi telah memiliki keistimewaan: beliau bisa melihat alam malakut dan bertemu dengan ruh-ruh Nabi dan orang-orang suci. Saat berusia lima atau enam tahun Rumi, ketika sedang bermain dengan anak-anak lainnya, beliau mendadak lenyap – beliau dibawa naik ke langit oleh malaikat untuk melihat-lihat alam samawi. Seperti banyak Wali Allah lainnya, sejak kecil Maulana Rumi sudah sering berpuasa. Beliau sejak usia enam tahun-an sering membaca surat al-Kautsar dan menangis dan mengalami penyingkapan spiritual. Ketika Rumi berusia sekitar tujuh tahun, ayahnya menerima ilham ilahi yang memerintahkannya untuk pindah dari Balkh. Keluarga Rumi kemudian hijrah ke Khurasan, Nisyapur, Baghdad, Mekah, Damaskus dan kemudian menetap di Konya, yang saat itu merupakan ibu kota Kesultanan Saljuk. Konon saat berada di Nisyapur Syekh Bahauddin Walad bertemu dengan Sufi termasyhur FARIDUDDIN ATTHAR. Ketika beliau melihat Maulana Rumi berjalan di belakang ayahnya, Atthar berseru, “Alangkah menakjubkan! Sungai menarik samudera di belakanganya.” Maulana Rumi menikah pada usia 18 tahun. Putra pertama mereka, Sultan Walad, lahir sekitar 1226 di Laranda, sedang putra keduanya, Alauddin lahir di Konya sekitar tahun 1228 atau 1229.
Di Konya Syekh Bahauddin Walad diangkat menjadi ulama utama oleh Sultan Saljuk. Maulana Rumi bertindak mendampingi ayahnya menjadi pengajar umat. Pada 1231 sang ayah meninggal dunia. Setahun sesudah ayahnya meninggal dunia, datanglah seorang Wali Allah bernama Syekh Burhanuddin Muhaqqiq, yang juga murid Syekh Bahauddin Walad. Kepadanyalah Maulana Rumi mendalami ajaran spiritual atau Tasawuf. Di bawah bimbingannya Maulana Rumi melakukan suluk selama 40 hari malam. Sesudah 40 hari, Burhanuddin memasuki ruang khalwatnya, namun beliau menjumpai Maulana Rumi masih tenggelam dalam tafakurnya dan tak merespon sapaannya. Kemudian pada periode 40 hari kedua Maulana Rumi muncul dari kamarnya dengan tersenyum setelah mendapat pencerahan spiritual. Melalui bimbingan Syekh Burhanuddin ini Maulana Rumi mendalam kitab Ma’arif karya ayahnya. Rumi kemudian melanjutkan pendidikan syariat dan fiqh ke Aleppo dibawah bimbingan ulama dan qadhi mazhab Hanafi yang termasyhur, Kamaluddin ibn Al-Adim. Selama belajar di sini Maulana Rumi sering menghilang di waktu malam. Pada suatu malam Kamaluddin membuntuti Maulana Rumi berjalan ke luar gerbang kota. Di suatu tempat Kamaluddin melihat bangunan besar berkubah, yang dipenuhi dengan Wali-wali Allah yang berjubah hijau – dan Kamaluddin pun pingsan.
Saat belajar di Aleppo, Maulana Rumi beberapa kali pergi ke Damaskus. Suatu ketika Syekh Burhanuddin menyuruh Rumi berpuasa selama sembilan hari. Pada hari kesembilan, Syekh Burhanuddin mengajaknya ke sebuah pasar di Damaskus. Mendadak seorang pengemis, dengan jenggot kelabu dan mata liar bercahaya, menghadang jalannya, meminta sedekah. Pada awalnya Maulana Rumi terkejut dan ingin lari, namun dicegah oleh Syekh Burhanuddin, yang kemudian menyuruhnya memberi sedekah kepada pengemis itu. Ketika Maulana Rumi memberi sedekah, pengemis itu mendekat dan berbisik di telinganya, “Manfaatkan hidupmu sebaik-baiknya, atau akau akan merampasnya.” Lalu pengemis itu mendadak memeluk Syekh Burhanuddin, menjunjungnya dan mulai berputar seperti gasing. Jubahnya melambai mengembang berputar. Lalu pengemis itu pergi dan menghilang. Inilah pertemuan pertama Maulana Rumi dengan SYAMSUDDIN TABRIZ, Wali Allah pengembara yang kelak mengubah seluruh arah hidup Maulana Rumi.
Setelah sekitar delapan tahun memperdalam ilmu, Maulana Rumi kembali ke Konya dan kembali mengajar, dan setelah itu Syekh Burhanuddin pun pergi lagi untuk mengembara. Popularitas Maulana Rumi makin meningkat. Tetapi Maulana Rumi terus gelisah, ia merindukan seorang kawan yang menemaninya di perjalanan ruhani. Ia mengingat kata-kata terakhir gurunya sebelum pergi, “Kau tak akan sendirian. Seorang kawan hebat akan menemuimu. Ia adalah cermin dirimu sendiri, dan dunia akan berdiri untuk menghormatimu karena ajaran Cintamu.”
Pada suatu hari Jum’at Maulana sedang memberikan pelajaran agama kepada banyak orang di madrasahnya. Ketika selesai, tiba-tiba seorang lelaki lusuh berdiri dan berjalan menuju ke meja Maulana Rumi. Ia mengmbil kitab-kitab itu lalu dibuangnya ke dalam kolam. Tiga orang santri berusaha menyerang lelaki itu, namun Maulana Rumi mencegahnya. Kitab-kitab itupun hancur tenggelam dalam air kolam (sebagian riwayat mengatakan kitab-kitab itu tidak ditenggelamkan, tetapi dibakar). Maulana Rumi hanya bisa menangis. Lelaki itu bertanya, “Mana dari kitab-kitab ini yang paling berharga?” Lalu ia mengambil kitab-kitab itu dari dalam air, dan – ajaibnya – kitab-kitab itu sudah kering dan berbentuk seperti semula. Lalu lelaki itu berkata, “Ada dua jalan menjadikan seseorang sebagai Wali Allah. jalan yang panjang, lewat kitab-kitab, dan jalan singkat, lewat Jalan Cinta.” Lalu ia memeluk Maulana Rumi dan pergi. Pertemuan kedua ini amat mempengaruhi Maulana Rumi, dan beliaupun kembali mulai sering menyendiri. Beberapa waktu kemudian mereka bertemu lagi. Dalam pertemuan ini Syamsuddin Tabriz bertanya, “Mana yang lebih besar, Rasulullah yang mengatakan ‘Segala puji bagi Engkau, dan aku tak memahami-Mu sebagaimana seharusnya Engkau dipahami, maka tambahkanlah aku pemahaman’ ataukah Abu Yazid al-Bisthami yang berseru ‘Maha Suci aku! Maha agung aku, dan tiada dalam jubahku selain Allah.’” Mendengar pertanyaan ini Maulana Rumi pingsan. Dan setelah siuman, beliau menjawab, “Muhammad Rasulullah saw lebih besar. Dahaga Abu Yazid jadi hilang hanya dengan secangkir air karena hanya secangkir itulah daya tampung Abu Yazid, sedangkan Rasulullah tak terbatas, dan karenanya ia selalu memohon tambahan.”
Sejak saat itulah keduanya mulai tinggal bersama. Syekh Syamsuddin Tabriz mengatakan kepada Maulana Rumi, “Aku akan menghancurkanmu … kau akan mati ditanganku dan hanya setelah itu engkau akan kembali memulai hidupmu yang sesungguhnya.” Maulana Rumi menghabiskan dua bulan terus-menerus bersama Syamsuddin Tabriz, lelaki yang juga dijuluki “Syamsi Perende” – Matahari Terbang, karena ia sering berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini membuat Rumi seperti melupakan murid-murid lainnya, dan akibatnya mereka mulai jengkel dan iri kepada Syekh Syamsuddin Tabriz. Kejengkelan itu bertambah setelah sebuah peristiwa luar biasa. Menjelang maghrib, Syekh Syamsuddin menyuruh Rumi membeli sebotong anggur di pasar. Pada awalnya Maulana Rumi ingin shalat mahgrib berjamaah dulu, tetapi Syekh Syamsuddin Tabriz ingin saat itu juga Maulana Rumi berangkat membeli anggur, sebuah minuman yang diharamkan oleh Islam. Ketika jamaah shalat maghrib selesai dari shalat, mereka keluar dan menyaksikan Maulana Rumi, ulama agung yang begitu mereka hormati, berjalan membawa sebotol anggur yang haram. Orang-orang yang berkerumun di sepanjang jalan yang dilalui Maulana Rumi heran dan mulai mencelanya dan bahkan sebagian menghina. Maulana Rumi menyerahkan anggur itu kepada Syekh Syamsuddin Tabriz. Dan setelah menerima anggur itu, Syekh Syamsuddin untuk pertama kalinya berbicara di depan khalayak ramai. Beliau mengatakan bahwa beliau hanya menguji ketulusan dan ketaatan Maulana Rumi. Lalu Syekh Syamsuddin menumpahkan anggur itu ke tanah, dan menunduk memberi hormat kepada Maulana Rumi. Tetapi kejadian ini justru menambah kebencian orang dan sebagian murid terhadap Syekh Syamsuddin. Dan puncak kemarahan terjadi setelah Syekh Syamsuddin memperkenalkan sama’ (musik spiritual) dan tarian gasing mistis kepada Maulana Rumi, yang dengan cepat segera asyik di dalam praktik spiritual ini. Bahkan salah satu putra Rumi, Alauddin, konon termasuk orang yang membenci Syekh Syamsuddin Tabriz. Mereka menyebut Syamsuddin sebagai “pengacau” yang harus disingkirkan.
Tanpa alasan yang jelas Syekh Syamsuddin Tabriz menghilang dari Konya menuju Damaskus. Maulana Rumi merasa sedih, tetapi murid-muridnya menjadi senang. Mereka meminta Maulana Rumi mengajar kembali. Untuk pertama kalinya sejak bergaul dengan Syekh Syamsuddin, Maulana Rumi kembali ke madrasah, bersiap untuk mengajar, meski hatinya dirundung kesedihan mendalam. Pada saat akan memulai mengajar, berdatanganlah banyak ulama dan pembesar, serta ratusan santri ke madrasahnya. Namun begitu Maulana berdiri di mimbarnya, beliau tampak gelisah, mengamati sesuatu di dinding belakang. Tiba-tiba, tanpa mempedulikan tatapan heran pada hadirin, Maulana Rumi berteriak,”Siapa engkau yang berdiri di tembok belakang sana.” Semua menoleh, tetapi tak ada siapapun di sana. Orang-orang mulai ramai dan menggerutu. Seorang ulama berdiri dari duduknya dan berteriak dihadapan hadirin, “Ini gila. Mawar Rum telah busuk.” Lalu ia pergi dari majelis. Maulana Rumi mendadak berkata sambil menunjuk ke arah tembok, “Rasul Ilyas. Dia Ilyas as.” Semua orang heran, marah, takut, benci, dan menghina. Akhirnya Maulana Rumi memerintahkan putranya, SULTAN WALAD, untuk mencari Syekh Syamsuddin, dan Syekh Syamsuddin ditemukan lalu dibawa kembali ke Konya. Tetapi, sekali lagi, Syekh Syamsuddin meminta pintu madrasah dikunci dan sekali lagi Maulana Rumi asyik bersama sang guru, menjalani perenungan spiritual, menari dan bermusik. Akhirnya kemarahan tak tertahankan. Pada suatu malam, pada tahun 1247, Syekh Syamsuddin tak kembali lagi ke kamarnya. Kali ini Syams pergi dari Konya untuk selama-lamanya. Desas-desus mengatakan bahwa Syekh Syamsuddin dibunuh oleh sekelompok murid yang dipimpin oleh Alauddin. Ini menjelaskan mengapa Maulana Rumi tidak menghadiri pemakaman Alauddin yang wafat pada 1260 (658 H).
Setelah Syekh Syamsuddin tak ada lagi, orang-orang berharap Maulana Rumi kembali ke kehidupan “normal” dan mengajar. Tetapi beliau justru mencurahkan perhatian dan persahabatan dengan seorang tukang emas sederhana Syekh Shalahuddin Zarkub. Menurut cerita ketika Maulana Rumi sedang menarik di jalanan, konsentrasinya pecah oleh suara dentuman suara palu pengrajin emas yang berirama, yang sedang menempa sepotong perak. Maulana Rumi terpesona dan tak beranjak memandang sang tukang emas. Karena segan, Syekh Zarkub meneruskan memukul-mukul perak itu hingga selesai. Maulana Rumi menulis, “Aku temukan kebahagiaan di bengkel hiasan emas. Alangkah indahnya, alangkah cantik dan anggunnya.” Syekh Shalahuddin ini adalah juga murid Syekh Burhanuddin Muhaqqiq. Maulana Rumi bersahabat dengan Syekh Shalahuddin selama sepuluh tahun. Bahkan beliau menikahkan putranya, Sultan Walad, dengan putri Shalahuddin, Fatima Khatun, salah satu “Wali Allah perempuan di muka bumi,” meski tampaknya Sultan Walad tidak begitu antusias dengan perjodohan ini. Setelah Syekh Shalahuddin wafat, Maulana Rumi akhirnya bersahabat akrab dengan muridnya, Syekh Husamuddin Syalabi. Kepadanyalah Maulana Rumi mempersembahkan salah satu karya besarnya, Matsnawi.
Maulana Rumi menjelang akhir hayatnya mengalami sakit parah. Beliau akhirnya meninggal pada 16 Desember 1273 (5 Jumadil Akhir 672 H). Orang-orang Muslim, Kristen dan Yahudi bergabung untuk memberikan penghormatan pada acara pemakamannya. Sebelum wafat, Maulana Rumi menyatakan bahwa kematiannya adalah “Malam Pernikahan” yang akan membawanya berjumpa dengan Kekasihnya yang sejati, Allah swt, dan karenanya mesti disikapi dengan gembira dan dirayakan dengan sama’. Menurut salah satu biografinya, sesaat setelah Maulana meninggal, semua penduduk Konya larut dalam duka dan menjalankan ritual selama 40 hari penuh, dan terjadi “hiruk pikuk luar biasa bagaikan Hari Kebangkitan.” Kucing kesayangan Maulana Rumi ikut bersedih. Kucing itu tak mau makan dan minum sejak Maulana wawfat. Akhirnya kucing itu mati seminggu kemudian, dan dimakamkan oleh Malika Khatun, putri Maulana dari istri kedua, Kira Khatun, di sebelah makam Maulana Rumi.
Ajaran dan karamah
Warisan Maulana Rumi yang terkenal adalah Diwan-i Shams Tabriz, Mathnawi-i Ma’nawi. Diwan-i Shams Tabriz adalah sajak pujian atau semacam qasidah, yang dilhami oleh persahabatannya dengan Syekh Syamsuddin Tabriz. Tema utamanya adalah Cinta transendental, cinta Ilahiah. Diwan ini terdiri tak kurang dari 36.000 bait puisi. Sementara Mathnawi, yang ditulis untuk memenuhi permintaan Husamuddin, berisi ajaran rahasia-rahasia ilmu Tasawuf dalam bentuk karya sastra. Kitab ini berisi tak kurang dari 25.000 bait prosa-liris, tetapi sebagian peneliti menyebut 40.000 bait. Abdul Rahman al-Jami, seorang Wali Allah Persia abad 15, menyatakan bahwa Mathnawi adalah “tafsir al-Qur’an yang indah dalam bahasa Persia.”
Pada intinya Maulana Rumi mengajarkan bahwa untuk memahami kehidupan dan agar sampai kepada Tuhan manusia bisa menempuh Jalan Cinta. Karenanya ia senantiasa mengundang para murid dan pembaca kitab-kitabnya untuk mampir “kedai persatuan” dengan mereguk “anggur cinta.” Menurut Maulana Rumi semua agama mengajarkan pentingnya cinta yang merupakan dasar dari penciptaan semesta. Nyanyian merdu dan musik dapat membantu orang-orang untuk mencapai cinta dengan mengingatkan mereka kembali pada kenangan suara indah yang pernah didengarnya di alam pra-eksistensi yang tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Karenanya Maulana Rumi melukiskan cinta abadi yang tak terbatas adalah sebuah “rumah yang atap dan pintunya tercipta sepenuhnya dari sajak dan lagu.” Namun dalam memberikan pelajarannya beliau tidak berangkat dari pembahasan metafisika, teologi, kosmologi atau psikologi secara sistematis. Sajak-sajaknya sepenuhnya mengalir dari pemahaman dan pengalaman ruhaninya. Maulana tak menyusun filsafat mistis sistematis yang menyeluruh dengan cara seperti yang dilakukan salah seorang sahabatnya, Sadruddin al-Qunawi (murid utama Syaikh Akbar IBN ‘ARABI). Tujuannya adalah mengisahkan kepada para pecinta dan membuka pintu menuju pengalaman alam gaib, yang berpuncak pada “persatuan dengan Sang Kekasih.”
Tetapi untuk berjalan di atas Jalan Cinta ini manusia tak cukup hanya menari dan menyanyi. Seperti Wali Allah lainnya, Maulana Rumi menegaskan agar manusia tahu apa itu arti cinta yang hakiki, dan karenanya tahu tujuan dan makna dari kehidupan ini, maka manusia mesti berjuang melepaskan hawa nafsunya. Segala bentuk ibadah, zikir, membaca al-Qur’an, puasa dan sebagainya pada dasarnya adalah penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), agar hati yang merupakan cermin Ilahi atau singgasana Ilahi di dalam mikrokosmos mampu memantulkan Keindahan (Jamal) sekaligus Keagungan (Jalal). Melalui pantulan inilah manusia akan mampu menyaksikan segala bentuk Keindahan yang niscaya akan membuat mereka “jatuh cinta” dan pada akhirnya merasakan sendiri dengan segenap keberadaan dirinya yang hakiki apa itu Cinta yang sesungguhnya. Dengan jiwa yang bersih dan senantiasa ingat kepada-Nya (zikir) maka Hujan Cinta akan menyirami ruh manusia yang pada dasarnya selalu merindukan pertemuan dengan Tuhannya. Tetapi karena di dunia ini manusia masih terpisah dengan Kekasihnya, maka kerinduan pecinta kadang amatlah perih, seperti alunan pilu “suara seruling bambu yang dipisahkan dari batang pokoknya, yang membuatnya sesak dan pilu.” Jadinya seorang pecinta niscaya akan mengalami semacam “luka,” tetapi luka inilah yang menjadi tempat persemaian benih cinta. Dalam keadaan luka dan kepedihan yang sangat mendalam, manusia dipaksa untuk berhenti, untuk berubah, dan beralih ke arah yang baru, untuk memusatkan perhatian pada apa-apa yang tersembunyi dalam kepedihan rindu itu, yakni Allah, Sang Kekasih. Kerinduan yang membara membuat manusia bisa berkonsentrasi hanya pada satu obyek tujuan saja: Allah yang Maha Indah lagi Maha Tinggi. Agar bisa berkonsentrasi sepenuhnya, manusia harus melakukan mujahadah dan riyadhah untuk mensucikan dirinya, sebuah perjuangan yang sering melelahkan dan menyakitkan. Pada titik tertentu dalam pengalaman duka ini, sang pecinta akan merasakan “mati sebelum mati,” sebuah pengalaman yang dalam dunia Sufi disebut-sebut sebagai pengalaman menyakitkan tetapi perlu dialami siapa saja yang ingin bersatu kembali dengan Tuhannya. Seperti dijelaskan Maulana Rumi sendiri, “Rasa sakitlah yang membimbing kita. Seseorang tidak akan berusaha mencapai tujuan jika hal itu tidak mengandung rasa sakit, godaan dan hasrat cinta.” Setiap orang akan memahami rasa sakit ini ketika ia ditarik dan dilepaskan dari jerat kebodohan hawa nafsu dan dimatangkan oleh kesulitan dan duka cita yang tak terperi. Gelap harus dibabat habis agar cahaya cinta terhampar nyata di lubuk hati. Seperti ditulis Maulana Rumi: “Matahari menghunus pedang dan menumpahkan darah fajar; dan darah dari ribuan fajar sungguh halal ditumpahkan demi Wajah-Nya.” Ini adalah momen kebangkitan ruhani, momen kemunculan cahaya ruh. Menurut Maulana Rumi, tubuh adalah laksana Maryam. Setiap dari kita mengandung Isa dalam diri kita, tetapi sebelum kita merasakan nyeri dalam diri kita, nyeri yang mengawali kelahiran, maka “Isa dalam diri kita tak akan dilahirkan.” Yakni, sebelum mengalami derita dan dukacita mati sebelum mati, ruh kita yang suci kita tak akan bangkit menguasai dunia jiwa rendah. Saat Isa dalam diri kita telah dilahirkan, maka kita akan mendapatkan kebangkitan keimanan yang sesungguhnya, sebuah kebahagiaan yang tiada batasnya dalam genggaman Cinta.
Maka, dalam analisis terakhir, manusia akan menyadari bahwa sumber kebahagiaan, dan kebahagiaan itu sendiri, bukan berasal dari dalam diri yang masih diliputi oleh hawa nafsu, tetapi dari sesuatu yang lain, sumber dari segala sumber: Allah. Ketika hati yang merupakan singgasana Allah telah dikosongkan maka sang pemilik Singgasana akan berkenan “bertahta” di hatinya, dan Cintapun akan menjadi sesuatu yang “permanen” di dalam hati sang pecinta.
Sama; dan tarian gasing dalam ajaran Rumi adalah ekspresi dari kerinduan semesta kepada Tuhannya. Tetapi tujuan utama dari tarian ini bukanlah untuk mendapatkan ekstase atau jadzab, meskipun banyak yang mengalaminya saat menari. Ekstase dan kegembiraan ruhani dalam tarian ini bukan tujuan, tetapi hanya merupakan salah satu tahap dari perjalanan yang lebih tinggi kualitasnya. Tujuan utama dan paling mendasar adalah menyelaraskan diri dengan semesta – mulai “dari sel yang terkecil hingga ke bintang-bintang di angkasa” – untuk mengingat, menyaksikan Keagungan dan Keindahan Allah Yang Maha Tinggi, dan bersyukur kepada-Nya lalu pasrah kepada ketentuan-Nya – dengan kata lain tarian Maulana Rumi adalah demi mengaktualkan hakikat ajaran Islam itu sendiri. Ciri penting dari ritual ini adalah tarian dan sama’ memadukan tiga komponen utama manusia: pikiran, hati dan tubuh. Media musik dan sajak dipakai untuk mempengaruhi penari. Musik dan metafora yang indah dalam sajak akan mempengaruhi tubuh dan pikiran – dan secara bersama-sama akan mengubah keadaan lahir dan batin pendengarnya. Musik dan metafora dalam puisi dipakai sebagai kunci untuk memahami, bukan dengan akal (sebab kata Maulana Rumi, “Dihadapan Cinta, akal tak berdaya), tetapi dengan hati dan mukasyafah. Musik dan puisi menyampaikan sekaligus “menciptakan” makna yang berada di luar fenomena yang empiris, yang berarti pula di luar batas-batas logika, analisis dan rasionalitas. Musik dan puisi langsung menyentuh dunia emosi, intuisi moral dan spiritual (ruhani). Jadi, sama’ adalah sebentuk perjalanan ruhani, sebuah pendakian melalui tangga Cinta, mengatasi hawa nafsu, dengan pedoman kebenaran, dan akhirnya mencapai kesempurnaan, yakni merasakan “persatuan dengan Tuhan,” lalu “turun” lagi ke dunia dengan keadaan yang jauh berbeda – mampu mencintai dan melayani seluruh ciptaan tanpa diskriminasi, sebab manusia diciptakan dengan cinta untuk mencintai.
Maulana Rumi memiliki banyak karamah, diantaranya adalah beberapa kisah berikut. Suatu Maulana Rumi bertemu beberapa rahib Sisilia. Mereka biasa memamerkan kemampuan khawariq al-adah-nya untuk mendapatkan uang. Di depan Maulana mereka memamerkan kemampuan ajaibnya dengan menerbangkan seorang anak. Maulana melihat anak itu sebentar lalu diam bertafakur. Anak itu lalu berteriak-teriak ketakutan karena tak bisa turun dan bahkan terus naik. Para rahib mengerahkan kemampuannya untuk menurunkan anak itu, namun tetap sia-sia. Akhirnya mereka mengaku kalah dan masuk Islam.
Ketika Maulana berkhalwat di biliknya, beliau dikunjungi enam Wali Allah secara ghaib yang menghadiahkan sebuah bunga yang masih segar, padahal bunga itu berasal dari India yang jauh sekali dari Turki. Maulana kemudian menyerahkan bunga itu kepada istrinya. Warna dan keharuman bunga itu tidak pernah pudar. Seorang saksi lainnya, yakni murid Maulana, mengisahkan, suatu ketika memasang pelana kuda dan kemudian memacu kudanya ke arah negeri Qibla di Selatan. Malam harinya beliau kembali dengan pakaian penuh debu dan kusut. Beliau minta disediakan kuda lagi, lalu memacu kudanya kembali dengan cepat seperti terburu-buru. Kejadian ini dilakukannya selama tiga hari berturut-turut. Beberapa hari kemudian datang sepasukan tentara yang mengisahkan kemenangan tentara Islam melawwn pasukan Hulagu Khan di Damaskus.
Maulana Rumi pernah minum obat sebanyak 70 cangkir padahal obat itu amat berbahaya jika diminum terlalu banyak sekaligus. Namun Maulana tidak terkena dampak apa-apa, bahkan beliau mengatakan tubuhnya merasa sehat. Maulana Rumi juga menyelamatkan seorang muridnya dari bahaya lewat sarana mimpi. Maulana Rumi melalui mimpi memberinya petunjuk sehingga dia bisa lolos dari hukuman tentara Salib. Maulana Rumi juga bisa mengubah benda – sebuah batu baisa diubah menjadi baru merah delima. Beliau juga bisa berada di beberapa tempat sekaligus, yakni berada di rumahnya di Konya dan di rumah seorang rahib di Istanbul dalam waktu yang sama.
Kekasih memancarkan cahaya laksana mentari
Para pecinta berputar mengelilinginya laksana atom
Ketika angin musim semi cinta mulai berhembus
Setiap ranting yang belum kering turut menari
- Maulana Rumi
Maulana Jalaluddin Muhammad ibn Husayn al-Khatibi al-Bahri al-Rumi lahir pada 30 September 1207 (6 Rabiul Awwal 604 H) di Balkh, Khurasan (Afghanistan sekarang). Ayahnya adalah Bahauddin Walad, seorang ulama Sufi yang berpengaruh. Menurut sebagian tradisi, Maulana Rumi masih keturunan dari Sayyidina Abu Bakar ra. dari jalur ayahnya ini. Ibunya adalah Mu’min Khatun, yang masih keturunan bangsawan Dinasti Khawarizmi yang berkuasa di Bukhara pada saat itu. Sejak kecil Maulana Rumi telah memiliki keistimewaan: beliau bisa melihat alam malakut dan bertemu dengan ruh-ruh Nabi dan orang-orang suci. Saat berusia lima atau enam tahun Rumi, ketika sedang bermain dengan anak-anak lainnya, beliau mendadak lenyap – beliau dibawa naik ke langit oleh malaikat untuk melihat-lihat alam samawi. Seperti banyak Wali Allah lainnya, sejak kecil Maulana Rumi sudah sering berpuasa. Beliau sejak usia enam tahun-an sering membaca surat al-Kautsar dan menangis dan mengalami penyingkapan spiritual. Ketika Rumi berusia sekitar tujuh tahun, ayahnya menerima ilham ilahi yang memerintahkannya untuk pindah dari Balkh. Keluarga Rumi kemudian hijrah ke Khurasan, Nisyapur, Baghdad, Mekah, Damaskus dan kemudian menetap di Konya, yang saat itu merupakan ibu kota Kesultanan Saljuk. Konon saat berada di Nisyapur Syekh Bahauddin Walad bertemu dengan Sufi termasyhur FARIDUDDIN ATTHAR. Ketika beliau melihat Maulana Rumi berjalan di belakang ayahnya, Atthar berseru, “Alangkah menakjubkan! Sungai menarik samudera di belakanganya.” Maulana Rumi menikah pada usia 18 tahun. Putra pertama mereka, Sultan Walad, lahir sekitar 1226 di Laranda, sedang putra keduanya, Alauddin lahir di Konya sekitar tahun 1228 atau 1229.
Di Konya Syekh Bahauddin Walad diangkat menjadi ulama utama oleh Sultan Saljuk. Maulana Rumi bertindak mendampingi ayahnya menjadi pengajar umat. Pada 1231 sang ayah meninggal dunia. Setahun sesudah ayahnya meninggal dunia, datanglah seorang Wali Allah bernama Syekh Burhanuddin Muhaqqiq, yang juga murid Syekh Bahauddin Walad. Kepadanyalah Maulana Rumi mendalami ajaran spiritual atau Tasawuf. Di bawah bimbingannya Maulana Rumi melakukan suluk selama 40 hari malam. Sesudah 40 hari, Burhanuddin memasuki ruang khalwatnya, namun beliau menjumpai Maulana Rumi masih tenggelam dalam tafakurnya dan tak merespon sapaannya. Kemudian pada periode 40 hari kedua Maulana Rumi muncul dari kamarnya dengan tersenyum setelah mendapat pencerahan spiritual. Melalui bimbingan Syekh Burhanuddin ini Maulana Rumi mendalam kitab Ma’arif karya ayahnya. Rumi kemudian melanjutkan pendidikan syariat dan fiqh ke Aleppo dibawah bimbingan ulama dan qadhi mazhab Hanafi yang termasyhur, Kamaluddin ibn Al-Adim. Selama belajar di sini Maulana Rumi sering menghilang di waktu malam. Pada suatu malam Kamaluddin membuntuti Maulana Rumi berjalan ke luar gerbang kota. Di suatu tempat Kamaluddin melihat bangunan besar berkubah, yang dipenuhi dengan Wali-wali Allah yang berjubah hijau – dan Kamaluddin pun pingsan.
Saat belajar di Aleppo, Maulana Rumi beberapa kali pergi ke Damaskus. Suatu ketika Syekh Burhanuddin menyuruh Rumi berpuasa selama sembilan hari. Pada hari kesembilan, Syekh Burhanuddin mengajaknya ke sebuah pasar di Damaskus. Mendadak seorang pengemis, dengan jenggot kelabu dan mata liar bercahaya, menghadang jalannya, meminta sedekah. Pada awalnya Maulana Rumi terkejut dan ingin lari, namun dicegah oleh Syekh Burhanuddin, yang kemudian menyuruhnya memberi sedekah kepada pengemis itu. Ketika Maulana Rumi memberi sedekah, pengemis itu mendekat dan berbisik di telinganya, “Manfaatkan hidupmu sebaik-baiknya, atau akau akan merampasnya.” Lalu pengemis itu mendadak memeluk Syekh Burhanuddin, menjunjungnya dan mulai berputar seperti gasing. Jubahnya melambai mengembang berputar. Lalu pengemis itu pergi dan menghilang. Inilah pertemuan pertama Maulana Rumi dengan SYAMSUDDIN TABRIZ, Wali Allah pengembara yang kelak mengubah seluruh arah hidup Maulana Rumi.
Setelah sekitar delapan tahun memperdalam ilmu, Maulana Rumi kembali ke Konya dan kembali mengajar, dan setelah itu Syekh Burhanuddin pun pergi lagi untuk mengembara. Popularitas Maulana Rumi makin meningkat. Tetapi Maulana Rumi terus gelisah, ia merindukan seorang kawan yang menemaninya di perjalanan ruhani. Ia mengingat kata-kata terakhir gurunya sebelum pergi, “Kau tak akan sendirian. Seorang kawan hebat akan menemuimu. Ia adalah cermin dirimu sendiri, dan dunia akan berdiri untuk menghormatimu karena ajaran Cintamu.”
Pada suatu hari Jum’at Maulana sedang memberikan pelajaran agama kepada banyak orang di madrasahnya. Ketika selesai, tiba-tiba seorang lelaki lusuh berdiri dan berjalan menuju ke meja Maulana Rumi. Ia mengmbil kitab-kitab itu lalu dibuangnya ke dalam kolam. Tiga orang santri berusaha menyerang lelaki itu, namun Maulana Rumi mencegahnya. Kitab-kitab itupun hancur tenggelam dalam air kolam (sebagian riwayat mengatakan kitab-kitab itu tidak ditenggelamkan, tetapi dibakar). Maulana Rumi hanya bisa menangis. Lelaki itu bertanya, “Mana dari kitab-kitab ini yang paling berharga?” Lalu ia mengambil kitab-kitab itu dari dalam air, dan – ajaibnya – kitab-kitab itu sudah kering dan berbentuk seperti semula. Lalu lelaki itu berkata, “Ada dua jalan menjadikan seseorang sebagai Wali Allah. jalan yang panjang, lewat kitab-kitab, dan jalan singkat, lewat Jalan Cinta.” Lalu ia memeluk Maulana Rumi dan pergi. Pertemuan kedua ini amat mempengaruhi Maulana Rumi, dan beliaupun kembali mulai sering menyendiri. Beberapa waktu kemudian mereka bertemu lagi. Dalam pertemuan ini Syamsuddin Tabriz bertanya, “Mana yang lebih besar, Rasulullah yang mengatakan ‘Segala puji bagi Engkau, dan aku tak memahami-Mu sebagaimana seharusnya Engkau dipahami, maka tambahkanlah aku pemahaman’ ataukah Abu Yazid al-Bisthami yang berseru ‘Maha Suci aku! Maha agung aku, dan tiada dalam jubahku selain Allah.’” Mendengar pertanyaan ini Maulana Rumi pingsan. Dan setelah siuman, beliau menjawab, “Muhammad Rasulullah saw lebih besar. Dahaga Abu Yazid jadi hilang hanya dengan secangkir air karena hanya secangkir itulah daya tampung Abu Yazid, sedangkan Rasulullah tak terbatas, dan karenanya ia selalu memohon tambahan.”
Sejak saat itulah keduanya mulai tinggal bersama. Syekh Syamsuddin Tabriz mengatakan kepada Maulana Rumi, “Aku akan menghancurkanmu … kau akan mati ditanganku dan hanya setelah itu engkau akan kembali memulai hidupmu yang sesungguhnya.” Maulana Rumi menghabiskan dua bulan terus-menerus bersama Syamsuddin Tabriz, lelaki yang juga dijuluki “Syamsi Perende” – Matahari Terbang, karena ia sering berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini membuat Rumi seperti melupakan murid-murid lainnya, dan akibatnya mereka mulai jengkel dan iri kepada Syekh Syamsuddin Tabriz. Kejengkelan itu bertambah setelah sebuah peristiwa luar biasa. Menjelang maghrib, Syekh Syamsuddin menyuruh Rumi membeli sebotong anggur di pasar. Pada awalnya Maulana Rumi ingin shalat mahgrib berjamaah dulu, tetapi Syekh Syamsuddin Tabriz ingin saat itu juga Maulana Rumi berangkat membeli anggur, sebuah minuman yang diharamkan oleh Islam. Ketika jamaah shalat maghrib selesai dari shalat, mereka keluar dan menyaksikan Maulana Rumi, ulama agung yang begitu mereka hormati, berjalan membawa sebotol anggur yang haram. Orang-orang yang berkerumun di sepanjang jalan yang dilalui Maulana Rumi heran dan mulai mencelanya dan bahkan sebagian menghina. Maulana Rumi menyerahkan anggur itu kepada Syekh Syamsuddin Tabriz. Dan setelah menerima anggur itu, Syekh Syamsuddin untuk pertama kalinya berbicara di depan khalayak ramai. Beliau mengatakan bahwa beliau hanya menguji ketulusan dan ketaatan Maulana Rumi. Lalu Syekh Syamsuddin menumpahkan anggur itu ke tanah, dan menunduk memberi hormat kepada Maulana Rumi. Tetapi kejadian ini justru menambah kebencian orang dan sebagian murid terhadap Syekh Syamsuddin. Dan puncak kemarahan terjadi setelah Syekh Syamsuddin memperkenalkan sama’ (musik spiritual) dan tarian gasing mistis kepada Maulana Rumi, yang dengan cepat segera asyik di dalam praktik spiritual ini. Bahkan salah satu putra Rumi, Alauddin, konon termasuk orang yang membenci Syekh Syamsuddin Tabriz. Mereka menyebut Syamsuddin sebagai “pengacau” yang harus disingkirkan.
Tanpa alasan yang jelas Syekh Syamsuddin Tabriz menghilang dari Konya menuju Damaskus. Maulana Rumi merasa sedih, tetapi murid-muridnya menjadi senang. Mereka meminta Maulana Rumi mengajar kembali. Untuk pertama kalinya sejak bergaul dengan Syekh Syamsuddin, Maulana Rumi kembali ke madrasah, bersiap untuk mengajar, meski hatinya dirundung kesedihan mendalam. Pada saat akan memulai mengajar, berdatanganlah banyak ulama dan pembesar, serta ratusan santri ke madrasahnya. Namun begitu Maulana berdiri di mimbarnya, beliau tampak gelisah, mengamati sesuatu di dinding belakang. Tiba-tiba, tanpa mempedulikan tatapan heran pada hadirin, Maulana Rumi berteriak,”Siapa engkau yang berdiri di tembok belakang sana.” Semua menoleh, tetapi tak ada siapapun di sana. Orang-orang mulai ramai dan menggerutu. Seorang ulama berdiri dari duduknya dan berteriak dihadapan hadirin, “Ini gila. Mawar Rum telah busuk.” Lalu ia pergi dari majelis. Maulana Rumi mendadak berkata sambil menunjuk ke arah tembok, “Rasul Ilyas. Dia Ilyas as.” Semua orang heran, marah, takut, benci, dan menghina. Akhirnya Maulana Rumi memerintahkan putranya, SULTAN WALAD, untuk mencari Syekh Syamsuddin, dan Syekh Syamsuddin ditemukan lalu dibawa kembali ke Konya. Tetapi, sekali lagi, Syekh Syamsuddin meminta pintu madrasah dikunci dan sekali lagi Maulana Rumi asyik bersama sang guru, menjalani perenungan spiritual, menari dan bermusik. Akhirnya kemarahan tak tertahankan. Pada suatu malam, pada tahun 1247, Syekh Syamsuddin tak kembali lagi ke kamarnya. Kali ini Syams pergi dari Konya untuk selama-lamanya. Desas-desus mengatakan bahwa Syekh Syamsuddin dibunuh oleh sekelompok murid yang dipimpin oleh Alauddin. Ini menjelaskan mengapa Maulana Rumi tidak menghadiri pemakaman Alauddin yang wafat pada 1260 (658 H).
Setelah Syekh Syamsuddin tak ada lagi, orang-orang berharap Maulana Rumi kembali ke kehidupan “normal” dan mengajar. Tetapi beliau justru mencurahkan perhatian dan persahabatan dengan seorang tukang emas sederhana Syekh Shalahuddin Zarkub. Menurut cerita ketika Maulana Rumi sedang menarik di jalanan, konsentrasinya pecah oleh suara dentuman suara palu pengrajin emas yang berirama, yang sedang menempa sepotong perak. Maulana Rumi terpesona dan tak beranjak memandang sang tukang emas. Karena segan, Syekh Zarkub meneruskan memukul-mukul perak itu hingga selesai. Maulana Rumi menulis, “Aku temukan kebahagiaan di bengkel hiasan emas. Alangkah indahnya, alangkah cantik dan anggunnya.” Syekh Shalahuddin ini adalah juga murid Syekh Burhanuddin Muhaqqiq. Maulana Rumi bersahabat dengan Syekh Shalahuddin selama sepuluh tahun. Bahkan beliau menikahkan putranya, Sultan Walad, dengan putri Shalahuddin, Fatima Khatun, salah satu “Wali Allah perempuan di muka bumi,” meski tampaknya Sultan Walad tidak begitu antusias dengan perjodohan ini. Setelah Syekh Shalahuddin wafat, Maulana Rumi akhirnya bersahabat akrab dengan muridnya, Syekh Husamuddin Syalabi. Kepadanyalah Maulana Rumi mempersembahkan salah satu karya besarnya, Matsnawi.
Maulana Rumi menjelang akhir hayatnya mengalami sakit parah. Beliau akhirnya meninggal pada 16 Desember 1273 (5 Jumadil Akhir 672 H). Orang-orang Muslim, Kristen dan Yahudi bergabung untuk memberikan penghormatan pada acara pemakamannya. Sebelum wafat, Maulana Rumi menyatakan bahwa kematiannya adalah “Malam Pernikahan” yang akan membawanya berjumpa dengan Kekasihnya yang sejati, Allah swt, dan karenanya mesti disikapi dengan gembira dan dirayakan dengan sama’. Menurut salah satu biografinya, sesaat setelah Maulana meninggal, semua penduduk Konya larut dalam duka dan menjalankan ritual selama 40 hari penuh, dan terjadi “hiruk pikuk luar biasa bagaikan Hari Kebangkitan.” Kucing kesayangan Maulana Rumi ikut bersedih. Kucing itu tak mau makan dan minum sejak Maulana wawfat. Akhirnya kucing itu mati seminggu kemudian, dan dimakamkan oleh Malika Khatun, putri Maulana dari istri kedua, Kira Khatun, di sebelah makam Maulana Rumi.
Ajaran dan karamah
Warisan Maulana Rumi yang terkenal adalah Diwan-i Shams Tabriz, Mathnawi-i Ma’nawi. Diwan-i Shams Tabriz adalah sajak pujian atau semacam qasidah, yang dilhami oleh persahabatannya dengan Syekh Syamsuddin Tabriz. Tema utamanya adalah Cinta transendental, cinta Ilahiah. Diwan ini terdiri tak kurang dari 36.000 bait puisi. Sementara Mathnawi, yang ditulis untuk memenuhi permintaan Husamuddin, berisi ajaran rahasia-rahasia ilmu Tasawuf dalam bentuk karya sastra. Kitab ini berisi tak kurang dari 25.000 bait prosa-liris, tetapi sebagian peneliti menyebut 40.000 bait. Abdul Rahman al-Jami, seorang Wali Allah Persia abad 15, menyatakan bahwa Mathnawi adalah “tafsir al-Qur’an yang indah dalam bahasa Persia.”
Pada intinya Maulana Rumi mengajarkan bahwa untuk memahami kehidupan dan agar sampai kepada Tuhan manusia bisa menempuh Jalan Cinta. Karenanya ia senantiasa mengundang para murid dan pembaca kitab-kitabnya untuk mampir “kedai persatuan” dengan mereguk “anggur cinta.” Menurut Maulana Rumi semua agama mengajarkan pentingnya cinta yang merupakan dasar dari penciptaan semesta. Nyanyian merdu dan musik dapat membantu orang-orang untuk mencapai cinta dengan mengingatkan mereka kembali pada kenangan suara indah yang pernah didengarnya di alam pra-eksistensi yang tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Karenanya Maulana Rumi melukiskan cinta abadi yang tak terbatas adalah sebuah “rumah yang atap dan pintunya tercipta sepenuhnya dari sajak dan lagu.” Namun dalam memberikan pelajarannya beliau tidak berangkat dari pembahasan metafisika, teologi, kosmologi atau psikologi secara sistematis. Sajak-sajaknya sepenuhnya mengalir dari pemahaman dan pengalaman ruhaninya. Maulana tak menyusun filsafat mistis sistematis yang menyeluruh dengan cara seperti yang dilakukan salah seorang sahabatnya, Sadruddin al-Qunawi (murid utama Syaikh Akbar IBN ‘ARABI). Tujuannya adalah mengisahkan kepada para pecinta dan membuka pintu menuju pengalaman alam gaib, yang berpuncak pada “persatuan dengan Sang Kekasih.”
Tetapi untuk berjalan di atas Jalan Cinta ini manusia tak cukup hanya menari dan menyanyi. Seperti Wali Allah lainnya, Maulana Rumi menegaskan agar manusia tahu apa itu arti cinta yang hakiki, dan karenanya tahu tujuan dan makna dari kehidupan ini, maka manusia mesti berjuang melepaskan hawa nafsunya. Segala bentuk ibadah, zikir, membaca al-Qur’an, puasa dan sebagainya pada dasarnya adalah penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), agar hati yang merupakan cermin Ilahi atau singgasana Ilahi di dalam mikrokosmos mampu memantulkan Keindahan (Jamal) sekaligus Keagungan (Jalal). Melalui pantulan inilah manusia akan mampu menyaksikan segala bentuk Keindahan yang niscaya akan membuat mereka “jatuh cinta” dan pada akhirnya merasakan sendiri dengan segenap keberadaan dirinya yang hakiki apa itu Cinta yang sesungguhnya. Dengan jiwa yang bersih dan senantiasa ingat kepada-Nya (zikir) maka Hujan Cinta akan menyirami ruh manusia yang pada dasarnya selalu merindukan pertemuan dengan Tuhannya. Tetapi karena di dunia ini manusia masih terpisah dengan Kekasihnya, maka kerinduan pecinta kadang amatlah perih, seperti alunan pilu “suara seruling bambu yang dipisahkan dari batang pokoknya, yang membuatnya sesak dan pilu.” Jadinya seorang pecinta niscaya akan mengalami semacam “luka,” tetapi luka inilah yang menjadi tempat persemaian benih cinta. Dalam keadaan luka dan kepedihan yang sangat mendalam, manusia dipaksa untuk berhenti, untuk berubah, dan beralih ke arah yang baru, untuk memusatkan perhatian pada apa-apa yang tersembunyi dalam kepedihan rindu itu, yakni Allah, Sang Kekasih. Kerinduan yang membara membuat manusia bisa berkonsentrasi hanya pada satu obyek tujuan saja: Allah yang Maha Indah lagi Maha Tinggi. Agar bisa berkonsentrasi sepenuhnya, manusia harus melakukan mujahadah dan riyadhah untuk mensucikan dirinya, sebuah perjuangan yang sering melelahkan dan menyakitkan. Pada titik tertentu dalam pengalaman duka ini, sang pecinta akan merasakan “mati sebelum mati,” sebuah pengalaman yang dalam dunia Sufi disebut-sebut sebagai pengalaman menyakitkan tetapi perlu dialami siapa saja yang ingin bersatu kembali dengan Tuhannya. Seperti dijelaskan Maulana Rumi sendiri, “Rasa sakitlah yang membimbing kita. Seseorang tidak akan berusaha mencapai tujuan jika hal itu tidak mengandung rasa sakit, godaan dan hasrat cinta.” Setiap orang akan memahami rasa sakit ini ketika ia ditarik dan dilepaskan dari jerat kebodohan hawa nafsu dan dimatangkan oleh kesulitan dan duka cita yang tak terperi. Gelap harus dibabat habis agar cahaya cinta terhampar nyata di lubuk hati. Seperti ditulis Maulana Rumi: “Matahari menghunus pedang dan menumpahkan darah fajar; dan darah dari ribuan fajar sungguh halal ditumpahkan demi Wajah-Nya.” Ini adalah momen kebangkitan ruhani, momen kemunculan cahaya ruh. Menurut Maulana Rumi, tubuh adalah laksana Maryam. Setiap dari kita mengandung Isa dalam diri kita, tetapi sebelum kita merasakan nyeri dalam diri kita, nyeri yang mengawali kelahiran, maka “Isa dalam diri kita tak akan dilahirkan.” Yakni, sebelum mengalami derita dan dukacita mati sebelum mati, ruh kita yang suci kita tak akan bangkit menguasai dunia jiwa rendah. Saat Isa dalam diri kita telah dilahirkan, maka kita akan mendapatkan kebangkitan keimanan yang sesungguhnya, sebuah kebahagiaan yang tiada batasnya dalam genggaman Cinta.
Maka, dalam analisis terakhir, manusia akan menyadari bahwa sumber kebahagiaan, dan kebahagiaan itu sendiri, bukan berasal dari dalam diri yang masih diliputi oleh hawa nafsu, tetapi dari sesuatu yang lain, sumber dari segala sumber: Allah. Ketika hati yang merupakan singgasana Allah telah dikosongkan maka sang pemilik Singgasana akan berkenan “bertahta” di hatinya, dan Cintapun akan menjadi sesuatu yang “permanen” di dalam hati sang pecinta.
Sama; dan tarian gasing dalam ajaran Rumi adalah ekspresi dari kerinduan semesta kepada Tuhannya. Tetapi tujuan utama dari tarian ini bukanlah untuk mendapatkan ekstase atau jadzab, meskipun banyak yang mengalaminya saat menari. Ekstase dan kegembiraan ruhani dalam tarian ini bukan tujuan, tetapi hanya merupakan salah satu tahap dari perjalanan yang lebih tinggi kualitasnya. Tujuan utama dan paling mendasar adalah menyelaraskan diri dengan semesta – mulai “dari sel yang terkecil hingga ke bintang-bintang di angkasa” – untuk mengingat, menyaksikan Keagungan dan Keindahan Allah Yang Maha Tinggi, dan bersyukur kepada-Nya lalu pasrah kepada ketentuan-Nya – dengan kata lain tarian Maulana Rumi adalah demi mengaktualkan hakikat ajaran Islam itu sendiri. Ciri penting dari ritual ini adalah tarian dan sama’ memadukan tiga komponen utama manusia: pikiran, hati dan tubuh. Media musik dan sajak dipakai untuk mempengaruhi penari. Musik dan metafora yang indah dalam sajak akan mempengaruhi tubuh dan pikiran – dan secara bersama-sama akan mengubah keadaan lahir dan batin pendengarnya. Musik dan metafora dalam puisi dipakai sebagai kunci untuk memahami, bukan dengan akal (sebab kata Maulana Rumi, “Dihadapan Cinta, akal tak berdaya), tetapi dengan hati dan mukasyafah. Musik dan puisi menyampaikan sekaligus “menciptakan” makna yang berada di luar fenomena yang empiris, yang berarti pula di luar batas-batas logika, analisis dan rasionalitas. Musik dan puisi langsung menyentuh dunia emosi, intuisi moral dan spiritual (ruhani). Jadi, sama’ adalah sebentuk perjalanan ruhani, sebuah pendakian melalui tangga Cinta, mengatasi hawa nafsu, dengan pedoman kebenaran, dan akhirnya mencapai kesempurnaan, yakni merasakan “persatuan dengan Tuhan,” lalu “turun” lagi ke dunia dengan keadaan yang jauh berbeda – mampu mencintai dan melayani seluruh ciptaan tanpa diskriminasi, sebab manusia diciptakan dengan cinta untuk mencintai.
Maulana Rumi memiliki banyak karamah, diantaranya adalah beberapa kisah berikut. Suatu Maulana Rumi bertemu beberapa rahib Sisilia. Mereka biasa memamerkan kemampuan khawariq al-adah-nya untuk mendapatkan uang. Di depan Maulana mereka memamerkan kemampuan ajaibnya dengan menerbangkan seorang anak. Maulana melihat anak itu sebentar lalu diam bertafakur. Anak itu lalu berteriak-teriak ketakutan karena tak bisa turun dan bahkan terus naik. Para rahib mengerahkan kemampuannya untuk menurunkan anak itu, namun tetap sia-sia. Akhirnya mereka mengaku kalah dan masuk Islam.
Ketika Maulana berkhalwat di biliknya, beliau dikunjungi enam Wali Allah secara ghaib yang menghadiahkan sebuah bunga yang masih segar, padahal bunga itu berasal dari India yang jauh sekali dari Turki. Maulana kemudian menyerahkan bunga itu kepada istrinya. Warna dan keharuman bunga itu tidak pernah pudar. Seorang saksi lainnya, yakni murid Maulana, mengisahkan, suatu ketika memasang pelana kuda dan kemudian memacu kudanya ke arah negeri Qibla di Selatan. Malam harinya beliau kembali dengan pakaian penuh debu dan kusut. Beliau minta disediakan kuda lagi, lalu memacu kudanya kembali dengan cepat seperti terburu-buru. Kejadian ini dilakukannya selama tiga hari berturut-turut. Beberapa hari kemudian datang sepasukan tentara yang mengisahkan kemenangan tentara Islam melawwn pasukan Hulagu Khan di Damaskus.
Maulana Rumi pernah minum obat sebanyak 70 cangkir padahal obat itu amat berbahaya jika diminum terlalu banyak sekaligus. Namun Maulana tidak terkena dampak apa-apa, bahkan beliau mengatakan tubuhnya merasa sehat. Maulana Rumi juga menyelamatkan seorang muridnya dari bahaya lewat sarana mimpi. Maulana Rumi melalui mimpi memberinya petunjuk sehingga dia bisa lolos dari hukuman tentara Salib. Maulana Rumi juga bisa mengubah benda – sebuah batu baisa diubah menjadi baru merah delima. Beliau juga bisa berada di beberapa tempat sekaligus, yakni berada di rumahnya di Konya dan di rumah seorang rahib di Istanbul dalam waktu yang sama.
Sejarah Singkat Syeikh Maulana jallaluddin Rumi
Posted by: Risalahati
Dedic Ahmad Updated at: 22:10
No comments:
Post a Comment