Tersebutlah ada seorang petani dan keluarganya yang tinggal di sebuah kampung. Tempat tinggal masyarakat di kampung tersebut adalah rumah yang berbentuk panggung. Umumnya kolong rumah di sana dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan barang-barang pertanian, tapi ada juga yang dimanfaatkan sebagai kandang hewan ternak.
Tokoh cerita kali ini adalah seorang petani yang menjadikan kolong rumahnya sebagai kandang kambing yang diternaknya. Tidak banyak memang, namun lumayan cukup untuk memenuhi keperluan lauknya sepanjang tahun, bahkan di bulan haji terkadang bisa menjual 2 atau 3 ekor kambing.
Demikianlah kehidupan si petani ini. Dia dan keluarganya sudah terbiasa dengan suasana kandang kambing itu. Suara embiknya sudah menjadi irama biasa bagi pendengarannya. Bahkan bau khas kandang kambing pun sudah tidak bermasalah bagi indera penciuman mereka. Sudah biasa saja. Tidak ada yang mengganggu. Berbeda dengan keadaan pertama kali mereka menjadikan kolongnya sebagai kandang kambing. Dulu isteri dan anak-anaknya sering mengeluhkan akan bisingnya suara embik kambing di tengah malam, atau bau amisnya yang menyengat sepanjang hari. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Sudah terbiasa. Seolah indera penciuman mereka sudah mati rasa terhadap bau kambing.
Pada suatu kesempatan, keluarga petani ini berkunjung ke rumah saudara mereka di kampung sebelah. Ada hajat pernikahan ponakan mereka di sana. Kebiasaan di kampung itu, bisa sampai tiga hari tiga malam pestanya. Karena keluarga si petani itu bukanlah tamu, melainkan saudara, maka mereka ikut menjadi panitia hajat pernikahan tersebut. Menbantu ini dan itunya. Mereka larut dalam suasana bahagia. Pesta meriah. Tamu-tamu yang datang berpakaian dengan eloknya. Wangi parfum semerbak di setiap pojok.
Setelah selesai pestanya mereka pun kembali ke kampungnya.Tapi ada sesuatu yang lain yang mereka rasakan setelah kembali dari pesta pernikahan itu. Hanya baru di halaman rumahnya saja, mereka menciumi bau khas kambing yang mengganggu. Dan mereka tidak bisa tahan karenanya. Anak isteri petani itu mulai menggerutu. Kemudian, begitu masuk ke rumahnya, suara embik kambing pun bersahutan. Gerutuan anak isterinya pun bertambah. Tanpa menunggu waktu lama, anak dan isteri petani itu pun mengultimatum ayah mereka agar hari itu juga kandang kambing harus di pindah ke kebun belakang. Mereka tidak tahan dengan bau dan embiknya.
Ya begitulah akhirnya. Kandang kambing pun digusur dari kolong rumahnya. Tiga hari yang mereka lalui di tempat pesta pernikahan itu telah merubah sensitifitas indera penciuman dan pendengaran mereka menjadi lebih ‘normal’.
RENUNGAN:
Mungkin di tempat yang kita betah sekarang ini (bisa rumah, bisa kantor, lingkungan, dll), ada ‘bising suara dan bau kambing’ yang sebenarnya tidak enak. Tapi karena kebiasaan, maka itu sudah dianggap wajar saja.
Kiranya ada baiknya kita berkunjung ke tempat lain yang ‘bagus dan wangi’ sejenak untuk kemudian kembali ke rumah kita dan bisa menata kembali segala sesuatunya agar lebih indah dan wangi.
Mungkin demikian ilustrasi dari benchmark dalam pengertian sederhana yang dicontohkan oleh seorang petani di atas. Semoga kita dapat memetik hikmahnya.
Terimakasih,
KISAH PETANI DENGAN KAMBINGNYA
Posted by: Risalahati
Dedic Ahmad Updated at: 13:24
No comments:
Post a Comment