APAKAH KITA MAU DILEMPAR BATU?


Dalam kehidupan yang mempunyai beragam kejadian dan makna hidup, pernahkan kita merasa atau mengalami yang namanya “Dilempar Batu”? Jika ya, pernahkah kita memaknai sakitnya “Dilempar Batu”? Jika belum pernah atau tidak, apakah kita yakin tidak ada “Lemparan batu” sedikitpun dalam usia kehidupan kita ? Kemudian apakah kita mau “Dilempar Batu” ?

Bagi para pembaca yang pernah mendapatkan “Lemparan Batu” paling -paling kata yang muncul diawal adalah : “Aduh!!!”, “Waaaoooo!!!!”. Apalagi “Lemparan Batu” itu mengenai kepala, tidak bisa bayangkan lagi kata-kata yang keluar. Lalu setelahnya, apa yang bisa dimaknai ?? Refrensi dalam artikel ini mungkin bisa membuat kita memaknai arti dari “Lemparan Batu”

SETELAH sekian jam dilanda gempa yang cukup dahsyat, kota Pensylvenia di Amerika Serikat mengalami porak poranda yang cukup hebat. Oleh sebab itu, pemerintah setempat merencanakan untuk segera memulihkan kota. Suatu saat, mandor bangunan yang memimpin renovasi pemulihan kota berjalan-jalan sambil melakukan pengawasan terhadap pekerjaan perbaikan kota tersebut. Saking asyiknya berjalan, sang mandor lupa bahwa beberapa langkah didepannya terbentang kabel listrik beraliran tinggi yang siap merenggut nyawanya.

Pekerja yang beberapa meter dibelakangnya melihat bahaya yang mengancam sang mandor, mereka pun melihat bahaya yang mengancam sang mandor, mereka pun kemudian mencoba untuk mengingatkannya dengan berteriak. Namun, teriakannya nyaris tak terdengar ditelan suara deru mesin dan traktor yang ada disekitar tempat itu. Demi menyelamatkan madornya, pekerja tersebut mengambil batu kecil dan melemparkannya kearah kepala sang mandor hingga berdarah. Mandor kaget dan marah sambil melihat ke belakang, mencari siapa yang telah melempar kepalanya.
Begitu sang mandor menoleh ke belakang, pekerja yang melemparnya tadi langsung angkat tangan dan menunjuk kearah kaki sang mandor, apa yang dilihatnya membuat sang mandor shock dan kaget luar biasa, karena dua langkah kedepan kakinya akan menyentuh kabel listrik yang bertegangan tinggi. Untung ada pekerja yang melemparkan batu kearah kepalanya untuk mengingatkan bahwa ada bahaya besar yang siap mengancam. Kepala sang mandor memang berdarah, namun nyawanya tertolong.

RENUNGAN:
TERKADANG, dalam kehidupan ini telinga kita sudah terlalu kebal terhadap suara-suara peringatan yang bertujuan membawa kita kearah kehidupan yang lebih baik. Popularitas, ambisi, kesombongan, kekayaan dan segala kompetensi yang dimiliki sering membutakan nurani dan menumpulkan ketajaman pendengaran kita terhadap alunan musik instropeksi yang merdu.
Ada kalanya seseorang harus “Dilempar batu” dulu untuk memosisikannya kembali agar tidak terjerumus lebih jauh. Seorang rekan terpaksa harus berurusan dengan pengadilan akibat cara memaksukan barang yang dilakukannya tidak prosedural. Seorang saudara harus bolak-balik check up akibat sistem metabolisme tubuhnya yang sudah tidak seimbang.

Beberapa contoh “lemparan batu” itu ternyata membuat instrospeksi yang mendalam untuk memposisikan kembali apa arti hidup dan tujuan bekerja yang sebenarnya. Itulah sebabnya setiap “lemparan batu” sebaiknya dimaknai sebagai bagian dari pengembangan kualitas diri yang optimal, sekalipun lingkungan memaknai sebagai kegagalan, kejatuhan, maupun kehancuran.

JADI, Bukan peristiwa terkena “Lemparan batu” adalah yang terpenting, namun respon terhadap peristiwa itulah yang dapat memunculkan intisari pemaknaan hidup yang sesungguhnya. Tanpa “Lemparan batu”, yakni ketika laboratorium Thomas Alva Edison terbakar, mungkin saat ini kita masih hidup dalam kegelapan. Kolonel Sanders pun mengalami “Lemparan batu” bertubi-tubi berupa penolakan, hingga sekarang kita bisa menikmati gurihnya Kentucky Fried Chicken.

Bagi mereka, lebih penting melakukan yang benar daripada melakukan dengan benar.Ketika hari ini kita mendengar suara yang mengalunkan instrospeksi merdu maupun merasakan “lemparan batu” yang begitu terasa menyakitkan, akankah dimaknai sebagai dari dinamika hidup atau sebagai kejadian yang harus dihindari ?
"Life Is Choice” (Hidup adalah pilihan), demikian klaim seorang filsuf. Tidak mengherankan, karena kita sebenarnya dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus diputuskan, cepat atau lambat. Memaknai setiap “lemparan batu” pun merupakan suatu pilihan. Kita yang memilih mau menjadi pegawai produktif atau tidak. Kita pula dihadapkan hendak menjadi pemimpin yang melayani atau dilayani. Hingga pilihan yang tidak kalah pentingnya adalah mau menjadi manusia yang berguna atau tidak, sebab salah satu anugerah besar yang diberikan Sang Pencipta pada manusia adalah The Power Of Choice (Kekuatan untuk memilih). Selamat memilih jalan menuju pemaknaan hidup yang optimal!

"Apa yang terjadi didepan kita, maupun di belakang kita sesungguhnya merupakan persoalan kecil dibandingkan dengan apa yang ada didalam diri kita" (Oliver Holmes)
APAKAH KITA MAU DILEMPAR BATU?
Posted by: Risalahati Dedic Ahmad Updated at: 16:21
APAKAH KITA MAU DILEMPAR BATU? RISALAHATI , By Risalahati, Published: 2012-11-30T16:21:00+07:00, Title: APAKAH KITA MAU DILEMPAR BATU? , Rating5 of 8765432 reviews

No comments:

Post a Comment